Metodologi Penelitian Pendidikan Sejarah
Nim: 1105120626
Jurusan: FKIP Pendidikan
Sejarah 2011
Universitas Riau
METODOLOGI PENELITIAN
PENDIDIKAN SEJARAH
A. Ilmu Sejarah
Pengertian yang lebih komprehensif tentang sejarah adalah kisah dan peristiwa
masa lampau umat manusia. Definisi ini mengandung dua
makna sekaligus, yakni sejarah sebagai kisah atau cerita dan sebagai peristiwa.
Sejarah sebagai kisah merupakan sejarah dalam pengertiannya secara subjektif,
karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi pengetahuan manusia. Sedangkan
sejarah sebagai peristiwa merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa
masa lampau itu sebagai kenyataan yang masih di luar pengetahuan manusia.
Berdasarkan pengertian terakhir, peristiwa sejarah itu mencakup segala hal yang
dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia
(Kuntowijoyo, 1995: 17). Karena itu, lapangan sejarah meliputi segala
pengalaman manusia yang mengungkapan fakta mengenai apa, siapa, kapan, di mana,
dan bagaimana sesuatu telah terjadi.
Untuk mempertegas pemaknaan sejarah sebagai ilmu, kiranya terlebih
dahulu perlu ditelusuri asal-usul kata sejarah itu sendiri. 'Sejarah' dikatakan
berasal dari kata Arab 'syajarah', yang artinya `pohon'. Dalam bahasa acing lainnya, istilah sejarah
disebut histore (Prancis), geschichte Uerman), histoire atau geschiedenis
(Belanda), dan history (Inggris). Akar kata history ini berasal dari historic (Yunani) yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala clam,
terutama mengenai umat manusia yang bersifat kronologis, sedangkan yang tidak
bersifat kronologis dipakai kata scientia atau science (Alfian,
1984: 3). Dalam
perkembangannya, sejarah hanya terbatas pada aktivitas manusia berhubungan
dengan kejadian-kejadian tertentu (unik) yang disusun secara kronologis.
Sedangkan ilmu sejarah merupakan ilmu yang berusaha menentukan pengetahuan
tentang masa lalu suatu masyarakat tertentu (Gazalba, 1981: 2). Disiplin sejarah sebetulnya
sejajar dengan ilmu-ilmu social yang lain seperti sosiologi, ilmu politik, dan
antropologi; tetapi sejarah membicarakan masyarakat dengan selalu memerhatikan
signifikansi ruang dan waktu.
Sejarah sebagai "cerita tentang peristiwa di masa
lampau" pada mulanya sangatlah naratif, yang hanya tersusun berdasarkan
urutan fakta dengan penjelasan dan ulasan sekadarnya atas kenyataan-kenyataan
atau peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.
Laporan tentang masa lalu seperti ini biasanya disebut
"sejarah naratif'. Sejarah naratif ini bercirikan: 1) uraian logis
mengenai suatu proses perkembangan terjadinya peristiwa; 2) berdasarkan common sense (akal sehat), imajinasi,
keterampilan ekspresi bahasa, dan pengetahuan fakta; 3) proses terjadinya
peristiwa secara genesis (dari awal sampai akhir); 4) keterangan mengenai
sebab-sebabnya (kausalitas) secara deskriptif; dan 5) ditulis tanpa memakai
teori dan metodologi.
Kebalikannya adalah "sejarah ilmiah" atau "sejarah
analisis". Kriteria utama sejarah ilmiah ini adalah mengkaji dan
menyajikan suatu kejadian di masa lampau dengan menerangkan sebab-sebabnya yang
bersumber pada kondisi lingkungan peristiwa (kondisional
dan konteks sosial-budaya (kontekstua~.
Namun, pelukisan sejarah ilmiah yang pada gilirannya
bertujuan memberikan makna dan penjelasan tentang faktorfaktor terjadinya
suatu peristiwa tersebut dapat dilakukan secara, implisit di dalam deskripsi
dengan berdasarkan konsep dan teori yang relevan (Kartodirdjo, 1992: 3). Karena
itu, dalam proses penulisan sejarah sebetulnya bisa terjadi penggabungan antara
naratif dan analisis.
Terlepas dari dua kategori ilmu sejarah di atas, berbagai
penyajian dan jenis sejarah muncul sesuai dengan sudut pandang sejarawan,
kultur yang memengaruhi, dan masa yang melahirkan. Segala bentuk penyajian
sejarah merupakan pengetahuan yang dapat berfungsi untuk beragam kegunaan.
Menurut Wang Gungwu, sebagaimana dikutip T Ibrahim Alfian (1985: 3), sejarah
memiliki beberapa kegunaan. Pertama, untuk melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan
kelompok itu guna kelangsungan hidup. Kedua, untuk mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh di masa
lalu sehingga memberikan azas manfaat secara lebih khusus demi kelangsungan
hidup. Ketiga, sebagai
sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati.
B. Penulisan Sejarah
Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa
masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan
subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut
pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi
yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh
karena itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang
pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada
gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif.
Bagi sejarawan yang menganut "relativisme historis",
sikap netral dalam pengkajian dan penulisan sejarah itu sulit direalisasikan.
Karena pengetahuan sejarah itu pada dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta
pada suatu bahasa lain, menundukkannya pada bentuk-bentuk, kategori-kategori,
dan tuntutan-tuntutan khusus (Al-Syarqawi, 1981: 124).
Di samping alasan praktis di atas, ternyata dimungkinkan lebih
banyak lagi faktor yang menyebabkan terjadinya subjektivitas. Ibn Khaldun
(1332-1406), sejarawan Muslim, menyebutkan tujuh faktor yang dipandangnya
sebagai kelemahan dalam karya historiografi, yaitu 1) sikap pemihakan sejarawan
kepada mazhabmazhab tertentu, 2) sejarawan terlalu percaya kepada pihak
penukil berita sejarah, 3) sejarawan gagal menangkap maksudmaksud apa yang
dilihat dan didengar serta menurunkan laporan.fv atas
dasar persangkaan keliru, 4) sejarawan menberikan asumsi yang tidak beralasan
terhadap sumber berita, 5) ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan
dengan kejadian yang sebenarnya, 6) kecendrungan sejarawan untuk mendekatkan
diri kepada penguasa atau orang berpengaruh, dan 7) sejarawan tidak mengetahui
watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Bila ketujuh alas an
tersebut atau sebagian darinya mewarnai karya sejarah suatu generasi, maka
generasi sejarawan yang lain juga akan terpengaruh dengannya.
Kalau kepribadian sejarawan tak dapat
disangkal lagi merupakan faktor dominan yang dapat menjuruskan penulisan
sejarah menjadi subjektif, maka seluruh kesadaran sejarawan itu sesungguhnya
terselimuti oleh sistem kebudayaannya. Dalam hal ini, Sartono Kartodirdjo
(1992:64) mendefinisikan-nya sebagai subjektivitas kultural, yakni sikap atau
pandangan penulis sejarah yang berhubungan dengan konteks kebudayaan
masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat akan lebur dalam
proses sosialisasi sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya terpola
menurut struktur etis, estetis,dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat.
Proses enkulturasi itu serta merta sangat memengaruhi pandangan penulis
terhadap sejarah. Empu sejarawan Indonesia juga menandaskan bahwa didalam
subjektivitas kultural itu tercakup pula subjektivitas waktu, karena kebudayaan
tumbuh dan berkembang dalam waktu tertentu. Karena seorang sejarawan merupakan
anak zamannya dan bersama dengan orang-orang sezaman, tetapi ia pun menerima
nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu (Ankersmit, 1987:333). Subjektivitas
waktu ini disinyalir lebih sulit untuk diatasi, apalagi dalam merekonstruksi
sejarah komtemporer.
Berdasarkan tinjauan subjektivitas
sejarah diatas, timbullah persoalan apakah penulisan sejarah itu bisa
menampilkan kenyataan objektif, dan bagai manakah sejarawan mampu mencapai
obkektivitas sejarah? Pada dasarnya seiap hasil penulisan sejarah tidak
seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat diperoleh pula hal-hal
yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi kesahihannya (Alfian,
1984:6). Fakta keras atau fakta yang telah menjadi pengetahuan umum dan
tidak diragukan lagi kebenarannya, seperti fakta penyerbuan bangsa Mongol
terhadap ibu kota Baghdad pada tahun 1258 M, merupakan keadaan yang mendukung
objektivitas. Sementara fakta lunak adalah fakta yang masih disangsikan
kepastiannya, seperti fakta penyebaran Islam ke Nusantara, yang masih terjadi
silang pendapat dikalangan sejarawan. Namun demikian, apapun keadaan fakta
tersebut, objektivitas sejarah sesungguhnya bisa dicapai apabila para sejarawan
menyadari sebab-sebab yang memuat timbulnya ketidakpastian atau ketidaknetralan.
Atas dasar pertimbangan
diatas, nyatalah bahwa penafsiran terhadap peristiwa sejarah akan beragam
didalam historiografi yang barangkali jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah
itu sendiri. Untuk itu, kejelasan tentang objek bisa dilihat dengan cara
membedakan antara realitas sejarah seperti halnya yang ada dalam sejarah ( history as past actuality) dan upaya
sejarawan dalam memaparkan realitas sejarah itu (history
as written). Dengan kata lain, objektivitas dapat
dicapai dengan jalan membedakan antara metode penelitian dalam menemukan
realitas sejarah dan metode rasional guna menginterpretasikannya. Menurut Louis
Gottschalk, benda-benda peninggalan masa lalu seperti mata uang, perkamen, dan
reruntuhan adalah data sejarah, tetapi fakta-fakta sejarah yang hanya terdapat
didalam pikiran manusia merupakan lambang atas sesuatu yang pernah nyata
terdapat dalam sejarah. Baik data maupun fakta merupakan landasan mutlak atas
nilai karya-karya sejarah,padahal fakta sendiri diperoleh dari kesaksian dan
tidak memiliki kenyataan objektik. Untuk itu, agar fakta sejarah dapat
dipelajari secara objektif, ia harus mempunyai eksistensi yang bebas diluar
pikiran penulis sejarah (Gottschalk, 1983:28).
C.
Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Rekonstruksi Sejarah
Pembidangan ilmu sosial yang signifikan bagi pengkajian sejarah sangatlah
beragam. Gambaran mengenai suatu peristiwa sejarah akan bisa ditentukan oleh
disiplin atau pendekatan tertentu, yakni dari segi mana sejarawan memandangnya,
dimensi apa yang diperhatikan, unsur-unsur manakah yang diungkapkan, dan
sebagainya. Dalam hal ini, konstruk-konstruk konseptual atau teori-teori ilmu
sosial mempunyai daya penjelas yang lebih besar bagi sejarawan dalam memberikan
keterangan historis (historical explanation).
Diketahui
bahwa sejarah sebagai ilmu tidak semata-mata bersifat naratif, tetapi ia juga
bermaksud menerangkan kajian masa lampau secara analitis. Maka dari itu, dalam
penulisannya dibutuhkan teori dan metodologi guna memahami berbagai unsur dan faktor
penyebab dari proses sejarah. Tentu saja didalam proses itu terdapat
perubahan-perubahan yang pada fase tertentu menciptakan situasi yang berbeda
dengan situasi sebelum dan sesudahnya. Dalam sejarah naratif biasanya
diungkapkan bagaimana suatu peristiwa terjadi, lengkap dengan keterangan
tentang apa, siapa, kapan, dan dimana. Sementara dalam sejarah analitis,
pernyataan-pernyataan itu lazimnya disusul dengan pernyataan mengapa, untuk
dapat memahami suatu peristiwa dengan melacak sebab-sebabnya (Kartodirdjo,
1992: 108-109). Penggabungan kedua model sejarah itu menjadi sejarah ilmiah
yang menggambarkan kejadian sebagai proses sekaligus mengungkapkan aspek
struktural atas kejadian-kejadian.
Berdasarkan keterangan di
atas, jelaslah bahwa cara penggarapan sejarah menghendaki penggunaan
metodologi.Metodologi sebagai ilmu tentang metode sesungguhnya bermuara pada
pendekatan yang hanya dapat dioperasionalisasikan dengan bantuan seperangkat
konsep dan teori.Oleh karena itu ,gambaran mengenai suatu peristiwa sangat
ditentukan oleh pendekatan,yakni dari segi mana kita memandangnya,dimensi apa
yang diperhatikan ,dan unsur-unsur apa yang diungkapkan.Untuk itu,selanjutnya
diuraikan sebagian dari bidang-bidang ilmu sosial itu,terutama
sosiologi,antropologi,dan ilmu politik.
1.Pendekatan Sosiologis
Bila
pendekatan ini dipergunakan dalam penggambaran tentang peristiwa masa
lalu,tentu di dalamnya akan terungkap segi-segi sosial dari peristiwa yang
dikaji.Konstruksi sejarah dengan pendekatan sosiologis itu bahkan dapat pula
dikatakan sebagai sejarah sosial,karena pembahasannya mencakup golongan sosial
yang berperan,jenis hubungan sosial,konflik berdasarkan
kepentingan,pelapisan sosial,peranan dan status sosial,dan sebagainya.
Secara metedologis,penggunaan
sosiologi dalam kajian sejarah itu,sebagaimana dijelaskan Weber ,adalah
bertujuan memahami arti subjektif dari kelakuan sosial,bukan semata-mata
menyelidiki arti objektif.Dari sini ,tampaklah bahwa fungsionalisasisosiologi
mengarahkan pengkaji sejarah pada pencarian arti yang dituju oleh tindakan
individual berkenaan dengan peristiwa-peristiwa kolektif sehingga pengetahuan
teoretislah yang akan mampu membimbing sejarawan dalam menentukan motif-motif
dari tindakan atau faktor-faktor dari suatu peristiwa(Kartodirdjo,1982:54).Oleh
karena itu,pemahaman sejarawan dengan pendekatan tersebut lebih bersifat
subjektif.
Penelitian pergerakan sejarah atas bantuan sosiologi itu biasanya dapat
pula membantu mengungkapkan proses-proses sosial yang erat hubungan dengan upaya
pemahaman kausalitas antara pergerakan sosial dan perubahan sosial.Dengan kata
lain,pergerakan sosial dapat ditempatkan dalam kerangka perubahan sosial yang
keberlangsunganya mempunyai efek cukup luas terhadap kehidupan
masyarakat.Menurut Marvin E.Olsen (1968: 137),di dalam perubahan sosial itu
sering kali disertai suasana kegelisahan sosial,disintegrasi, dan konflik dan
konflik sosial.Bahkan,antara konflik dan perubahan sosial itu
sendiri,misalnya,pada dasarnya merupakan dua proses yang jalin-menjalin atau
mempunyai efek yang timbal balik,tetapi pada kenyataannya pula satu sama lain
tidak dapat disamakan karena merupakan proses yang terpisah.
Selanjutnya, Kuntowijoyo
memperkenalkan enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan
sosiologis.Keenam model penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan
keterampilan sejarawan dalam menentukan strateginya.Yaitu (1) model evolusi,
yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai
dengan masyarakat yang kompleks; (2) model lingkaran sentral,yang menjelaskan
penulisan sejarah bertolak dari titik peristiwa di tengah-tengah kehidupan
masyarakat secara sinkronis,lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya;
(3) model interval, yaitu berupa kumpulan lukisan yang disusun secara kronologis,
tetapi antara satu periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan
tidak selalu menujukkan hubungan sebab akibat; (4) model tingkat perkembangan,
yakni tahap-tahap perkembangan masyarakat dijelaskan dengan memakai model
diferensiasi struktural; (5) model jangka panjang-menengah-pendek, artinya
sejarah ditetapkan dalam tiga macam keberlangsungan.Dalam hal ini, sejarah
jangka panjang merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahannya lamban
sehingga perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah
perkembangannya lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah
jangka pendek adalah sejarah dari kejadin-kejadian yang berjalan dengan serba
cepat; (6) model sistematis, model teakhir ini biasanya dipergunakan untuk menelusuri
sejarah masyarakat dalam konteks perubahan sosial.
2.Pendekatan Antrpologis
Antropologis sering kali sukar
dibedakan dari sosiologi, karena kedua bidang ilmu tersebut sama-sama
mempelajari masyarakat,terutama bentuk-bentuk sosial dan strukturnya,baik yang
berwujud perilaku individu maupun dalam perilaku sosial atau kelompok. Hal
utama yang membedakan antropologi dan sosiologi adalah pendekatannya , sasaran
utama kajian dan sejarah perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan. Mengenai
pendekatannya misalnya,antropologi sering kali dikembangkan dalam bidang kajian
untuk mempelajari masalah-masalah budaya. Karena kajian antropologi ini
mencakup berbagai dimensi kehidupan , maka antropologi dapat diklasifikasikan
berdasarkan cabang-cabangnya, seperti antropologi sosial,antropologi politik,
dan antropologi budaya. Dalam tulisan ini hanya inggin dijelaskan mengenai
antropologi budaya dan fungsionalisasinya sebagai pendekatan dalam kajian
sejarah.
Titik singgung antara antropologi
budaya dan sejarah sangatlah jelas, karena keduanya mempelajari manusia sebagai
objeknya.Apabila sejarah menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada
masa lampau, maka gambaran itu mencangkup unsure-unsur kebudayaannya sehingga
tampak adanya tumpang tindih antara bidang sejarah dan antopologi budaya.Oleh
karena itu, sebagaimana halnya sejarah dan sosiologi,perpaduan antara pandangan
sinkronis dan diakronis merupakan pendekatan yang bisa memadukan antara kedua
disiplin itu.
Atas kedua pendekatan di atas,
Koentjaningrat , Profesor Antropologi dari Universitas Indonesia,
menyebutkan istilah-istilah yang berbeda untuk pengertian yang sama. Pertama
,integrasi deskriptif, digunakan untuk penelitian diakronik, yaitu untuk
memperoleh pengertian tentang manusia dan tingkah lakunya dengan
merenkontruksiasal-usul, perkembangan, dan peyebarannya serta berbagai kontak
antarbudaya yang tejadi dalam kurun waktu tertentu. Data terpenting yang
dimasukkan ke dalam integrasi deskriptif adalah data etnografis. Selanjutnya,
dari analisis terhadap data etnografi tersebut dapat diperoleh suatu gambaran
deskriptif yang menyeluruh tentang sejarah kebudayaan suku-suku bangsa. Kedua,
pendekatan generalisasi yaitu digunakan untuk penelitian segi-segi sinkronis
tentang suatu kebudayaan. Dengan kata lain, pendekatan tersebut ditujukan untuk
memperoleh pengertian tentang prinsip-prinsip dasar kebudayaan manusia
dalam kerangka-kerangka kebudayaan yang hidup pada tataran waktu kekinian
(Koentjaraningrat dalam Soedjatmoko, dkk., d., 1995: 264-265).
Bagaimana data antropologis dan
metodenya dapat dipergunakan bagi penulisan sejarah? Dalam hal ini, sedikitnya
empat metode yang dianggap penting, sebagaimana dijelaskan Koentjaraningrat.
a.
Metode
asimilasi, yang menjelaskan proses saling menghisap unsur-unsur budaya dalam
situasi kontak berbagai kelompok kebuduyaan. Di sini, “prinsip integrasi”
dan “prinsip integrasi” dan “prinsip fungsi” merupakan metode-metode yang
berkaitan dengan proses adaptasi dan asimilasi unsur kebudayaan asing. Prinsip
integrasi dari sejumlah unsur kebudayaan asing itu secara keseluruhan
dapat diterima apabla disesuaikan dengan bentuk perilaku lama dan
cocokdengan sikap-sikap emosional yang aada pada saat itu. Sedangkan
prinsip fungsi memandang suatu unsur kebudayaan itu tidak mudah berubah apabila
unsur itu mempunyai fungsi yang penting sekali dalam masyarakat bersangkutan.
b.
Metode
fungsional dalam studi masyarakat, yaitu pendeskripsian suatu kebudayaan
didasarkan pada sekelompok manusia yag tinggal di suatu daerah sebagai antitas
yang lengkap dan sistematis. Dala hal ini, komunitas dapat dipandang sebagai
suatu sistem ekologi, sistem sosial, sistem pandangan hifup, dan sistem
penyesuaian kepribadian.
c.
Metode
fungsional dalam analisis tentang mitologi. Berdasarkan metode ini, analisis
mitologi didasarkan pada anggapan bahwa cerita gaib berisi ide, pemikiran,
pandangan hidup, dan sebagainya yang menjadi sumber motivasi darikegiatan fisik
dan spiritual masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya, prinsip-prinsip
yang berlaku didalam sebagian besar masyarakat dan kebudayaan yang memiliki
mitos.
d.
Metode
silsilah. Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan terminologi
kekrabatan dalam bahasa tertentu guna menganalisis istem kekerabatan. Namun,
metode ini juga dapat digunakan untuk mengumpulkan keterangan banyak tentang
unsur, gejala, dan peristiwa yang terjadi disekeliling individu; bahkan juga
menghasilkan keterangan tentang peristiwa yang terjadi beberapa generasi
sebelumnya. Data yang dikumpulkan melalui metode silsilah ini kemudian dapat menjadi
bahan dasar untuk menyusun kembali sejarah masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan metode-metode diatas,
dapatlah disimpulkan bahwa antroologi akan selalu berfungsi dalam
pengkajian sejarah. Sebab, memlaului antropologilah latar belakang sosial-budaya
dari peristiwa-peristiwa sejarah dapat terpaparkan. Demikian pula ketika ingin
diketahui mengapa suatu kebudayaan itu berubah, maka perubahan itu harus
dikaji dalam prespektif sejarahnya dengan menggunakan konsep dan teori
antropologi atau kebudayaan.
3. Pendekatan Ilmu Politik
Bila kita membuka kembali
karya-karya sejarah konvensional, dapatlah dikatakan bahwa sejarah adalah
identik dengan politik. Melalui karya-karya seperti itulah banyak diperoleh
pengetauan tentang jalannya sejarah yang ditentukan oleh kejadia politik,
perang, diplomasi, dan tindakan tokoh-tokoh politik. Namun, apabila politik itu
sendiri diartikan sebagai pola distribusi kekuasaan, tentunya kajian ilmiah
terhadap sejarah politik juga berarti mempelajari hakikat dan tujuan dari
sistem politik, hubungan struktural dalam sistem tersebut, pola-pola dari
kelakuan individu dan kelompok yang membantu menjelaskan bagaimana sistem ini
berfungsi, serta perkembangan hukum dan kebijakan-kebijakan sosial yang
meliputi partai-partai polotik, kelompok-kelompok interst, komunikasi dan
penadapat umumu, birokrasi dan administrasi.
Dalam proses politik biasanya
masalah kepemimpinan dipandang sebagai faktor penentu dan senatiasa meenjadi
tolak ukur. Untuk itu, penting diketahui klasifikasi kepemimpinan yang secara
umum telah dibedaka oleh Max Weber dalam tiga jenis otoritas: (1) otoritas
karismati, yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; (2) otoritas
tradisional, yang dimiliki berdasarkan pewarisan; (3) otoritas legal-nasional,
yang dimiliki berdasarkan jabatab dan kemampuan (Kartodirdjo, 1992 :150).
Selanjutnya, analisis sejarah
berkenaan dengan tema-tema kepemimpinan seperti tersebut diatas, dapat
dipertimbangkan lebih mendalam lagi berdasarkan faktor-faktor sosia-ekonomi,
dan kultural; sebab telah menjadi kenyataan sejarah, atau bahkan merupakan
sunnatullah, apabila seseorang mampu menduduki posisi sosial tinggi maka dia
akan mudah mengambil peranan sebagai pemimpin dan berkesempatan untuk
memperoleh bagian dari kesuksesan. Begitu pun sumber daya ekonomis bisa
merupakan pendukung kekuasaan, bukan hanya proses kekuasaan itu sendiri selalu
membutuhkan biaya yang cukup banyak, melainkan dari model-model kekuasaan itu
sendiri juga akan terpantul sebagai jenis kepentingan individu maupun golongan
terhadapa keburuhan ekonomi. Tak pelak lagi, faktor kultural juga merupakan
penentu otoritas kekuasaaan, karena politik sangat dipengaruhi oleh orientasi
nilai dan pandangan hidup. Didalam komunitas santri umpamanya, seorang pemimpin
itu akan selalu dilihat oleh masyarakat dari segi ketakwaan dan kesalehannya.
Atas kecenderungannya itu semua, telah historis dapat dilakukan dengan jalan
mengidentifikasi hubungan antara segala faktor dari suatu sistem atau
komunitas. Jadi, semisal “konflik politik” akan dijadikan sasarann penelitian
sejarah, maka permasalahan dan eksplanasinya dapat dikembalikan kepada
faktor-faktor sosial-budaya dan kepentingan ideologi atau nilai tertentu.
D. Teori dan
Konsep dalam Ilmu Sejarah
Para ahli dibidang metodologi
sejarah seringkali menyatakan bahwa untuk mempermudah sejarawan didalam
pengkajiannya terhadap perisiwa-peristiwa masa lampau akan selalu membutuhkan
teori dan konsep, yang keduanya berfungsi sebagai alat-alat analisis serta
sintesis sejarah. Kerangka teoretis maupun konseptual itu sendiri berarti
metodologi didalam pengkajian sejarah, dan pokok pangkal metodolgi adalah
pendekatan yang dipergunakan. Guna mengetahui signifikansi teori dan konsep
bagi pengkajian sejarah itu, maka uraian berikut ini diharapkan dapat memperjelas
tentang keduanya.
1. Teori Sejarah
Karakteristik teori didalam ilmu
sejarah pada dasaarnya tidak berbeda dengan teori-teori ilmiah pada umumnya.
Menurut Percy S. Cohen (1969), sebagaimana dikutip T. Ibrahim Alfan (Basis,
1992: 363), “a scientific theory, is, ideally, a universal, empirical
sataement, which assert a causal connection between two or more types of
event”. Berikut ini aka diuraikan tiga ciri teori ilmiah tersebut.
a. Sebuah teori ilmiah adalah
universal. Artinya, teori itu menyatakan sesuatu mengenai kondisi-kondisi yang
mungkin melahirkan beberapa peristiwa atau jenis peristiwa. Berdasarkan
pengertian ini, sifat universal sebuah teori tampak kontradiksi dengan sejarah sebagai ilmu yang
mengungkapkan peristiwa dalam keunikannya. Padahal universalitas teori itu juga
berarti juga merujuk pada proses generalisasi, yakni merujuk pada kenyataan
yang ajeg (keteraturan), dalil, atau hukum yang berlaku untuk beberapa kasus.
Dalam hal ini, sifat universal memungkinkan terjadi dalam sejarah mengenai
kecenderungan-kecenderungan sosial, khususnya segi-segi yang berhubungan dengan
pola perilaku manusia berdasarkan orientasi nilai, sistem sosial, pengkajian
ekonomis, dan sifat psikologis. Dengan kata lain, pengkajian sejarah dengan
pendekatan ilmu sosial akan mengungkap pola, tendensi, dan struktur yang mirip
antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sebagai contoh, jalannya
suatu revolusi di satu negara dalam segi formalnya mirip dengan revolusi di
negara lain. Akan tetapi, dalam segi substansinya setiap revolusi itu adalah
unik. Jadi, universalitas teori revolusi itu terletak pada hal formalnya. Upaya
pencarian segi-segi formal atas peristiwa sejarah, menurut Saryono Kartodirdjo
(1992: 104), diantaranya dapat dilakukan dengan metode komparati. Contohnya,
mengenai suatu perbandingan sejarah “gerakan tarekat sebagai gerakan
sosial-keagamaan” dapat diidentifikasikan, antara lain, melalui soal ajaran,
kepemimpinan, hubungan dengan penganut, mobilisasi, struktur organisasi, dan
interaksi dengan golongan lain atau penguasa.
b. Teori ilmiah harus empiris.
Maksudnya, sifat pernyataan ilmiah diambil dari peristiwa-peristiwa khusus atau
pernyataan itu dapat dibuktikan melalui observasi. Jadi, suatu teori disebut
empiris bila teori itu dapat diuji. Dan sebaliknya, teori yang tidak sesuai
dengan observasi maka teori itu dapat diubah, disesuaikan, atau bahkan ditolak.
Misalnya, orang menyatakan bahwa” kaum muslimin tradisional itu cenderung
lambat dalam mengantisipasi pembaruan” teori ini dibuktikan dalam gerakan kaum
sufi misalnya, tetapi bisa juga tidak empiris kalau ternyata ada suasana khusus
dari kaum sufi itu yang menunjukkan gejala adaptif terhadap kemajuan zaman.
c. Suatu teori harus bersifat
kausal. Ini berarti di dalam suatu pernyataan tentang peristiwa terdapat
keterangan yang menyebutkan sebabnya. Dapat dikatakan pula bahwa terdapat
kondisi-kondisi yang harus ada (necessary condditions) atau kondisi yang cukup
(sufficient conditions) bagi terjadinya jenis-jenis peristiwa tertentu. Di
dalam penjelasan historis, kausalitas peristiwa itu merupakan uraian atau
jawaban atas pertanyaan “mengapa” dan keterangannya ditunjukkan secara
emplisit. Menurut Ankersmit (1987: 192), kausalitas dalam pengkajian sejarah
biasanya berkaitan dengan proses-proses perubahan sehingga menyebutkan “ sebab”
sesuatu peristiwa itu berkaitan erat dengan keterangan tentang “perubahan”. Hal
demikian sangatlah lazim di dalam pemikiran sejarah, sebab suatu proses sejarah
itu sekaligus melihat hubungan kausalnya dengan gejala sejarah yang lain baik
yang terjadi sebelumnya maupun sesudahnya, dan dengan begitu gerakan sejarah
lazim pula disebut perubahan.
Teori-teori kausalitas dalam kajian
sejarah secara umum dapat diklasifikasikan menjadi minikausalitas dan
multikausalitas. Yang pertama, kausalitas peristiwa dirujukan pada suatu faktor
saja (deterministik), yaitu misalnya determinisme geografis, rasial, ekonomis,
dan sebagainya. Sedangkan yang kedua multikausalitas dikembalikan pada
prepektivisme, artinya memandang penyebab suatu peristiwa itu dari berbagai
segi. Kausalitas yang kedua ini didasarkan pada alasan bahwa berbagai gejala
tidak lagi di pandang secara sederhana, tetapi bersifat kompleks, sehingga
berbagai unsur atau aspeknya dapat di analisis dengan pendekatan dari beberapa
prespektif, seperti prespektif ekonomis, sosial, politik, kultural, dan agama.
Terakahir, sebagaimana disimpulakan
T. Ibrahim Alfian, teori itu pada dasarnya adalah seperangkat proporsi yang
menerangkan bahwa konsep-konsep tertentu adalah saling berkaitan dengan
cara-cara tertentu. Proporsi-proporsi yang menceritakan bagaimana pertalian
antarkonsep adalah definisi, dalil dan hipotesis. Pada gilirannya, segala teori
dapat membantu sejarawan dalam merekonstruksi masa lampau selama prinsip
relevansi dipegang teguh.
2. Konsep Sejarah
Secara definitif, konsep sejarah itu
ialah “ suatu abstraksi mengenai suatu gejala realitas”. Realitas yang ditunjuk
oleh konsep itu bisa penyebutan orang-orang seperti muslimin, muslimat,
kristiani, hinduis, tradisional, reformis dan bisa juga berupa perilaku atau
kelas fenomena, misalnya perusuh, pemberontak, bangsawan, priyayi, dan rakyat.
Konsep berarti pula kata benda umum; dalam ilmu politik umpamanya, ada
konsep-konsep kekuasaan, kewibawaan, kepemimpinan, konflik, dan integrasi. Debgan
begitu, konsep dalam sejarah meruakan sebuah abstraksi atas peristiwa-peristiwa
masa lampau umat manusia.
Proses penentuan konsep disebut
“konseptualisasi”, artinya seseorang membagi-bagi dan mengelompokkan fenomena
empiris atas dasar persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Dalam hal ini,
konsep merupakan ide umum yang dipakai untuk membagi sesuatu dalam kelas-kelas
atau bagian-bagian tertentu. Akan tetapi, pada prinsipnya konsep hanyalah
melikiskan kategori tunggal, bukan merupakan pertalian antara
kategori-kategori; sedangkan pertalian konsep-konsep disebut
hipotesi-hipotesis, kerangka konseptual, atau teori-teori.
Jenis-jenis konsep didalam sejarah,
seperti hanyalah ilmu-ilmu sosial yang lain, dapat dibedakan dalam tiga jenis
berikut.
a.
Konsep empirik,
yaitu sesuatu yang dikoneptualisasikan itu dapat dibiktikan dan diukur dengan
data panca indra. Berdasarkan konsep empirik, sesuatu itu dapatlah ditelaah
secara intelektual, dan berbagai aspek yang ada di dalamnya dapat pula
diidentifikasi dan dianalisis. Konsep empirik menghendaki dua bentuk definisi.
Pertama, definisi konseptual, yakni isi konsep dalam komunikasi baik
lisan maupun tertulis. Kedua, definisi operasional, yakni konsep itu dapat
dapat ditunjukkan dalam gejala-gajalanya secara empiris (Alfian dalam
basis,1992: 366). Konsep “kaum santri”, misalnya, dapat didefinisikan secara
konseptual sebagai “struktur sosial atau kategori yang dibedakan dengan
struktur sejenis yang lain atas dasar ketaatan, keyakinan, ritual”. Sementara
secara operasional, dapat pula ditetapkan bahwa yang termasuk dalam strukktur
itu adalah komunitas pesantren,kaum terpelajar, da para aktivis muslim.
b.
Konsep
heuristik, yaitu konsep yang dianggap tidak nyata tetapi digunakan untuk
memberi gambaran mengenai pertalian empiris dan untuk menuntun riset. Misalnya,
konsep “jelompok dominan” atau konsep “kelompok kepentingan” dari ahli politik.
Demikian pula konsep “kewirausahaan” atau “entrepeneurship” di dalam ilmu
ekonomi. Konsep-konsep seperti in menghendaki kejelasan fungsi-fungsi umum yang
dapat dikembangkan pula untuk merujuk atau menunjuk pada orang yang menjalankan
fungsi-fungsi itu. Menurut Alfian, konsep-konsep seperti itu dapat dibedakan
menjadi dua tipe. Pertama, ideal type, yakni konsep itu tidak seharusnya
menunjuk secara langsung orang perorangan atau kelompok tertentu sehingga
keadaannya bersifat fiktif. Namun demikian, konsep dimaksud tetap berguna untuk
membuat gambaran mengenai
pertaliannya didalam dunia empiris. Kedua, real type, yakni bukanlah fiksi
sepenuhnya, melainkan suatu kelas umum mengenai orang-orang atau peristiwa riil
a.
Konsep
metafisik. Contohnya, ‘tuhan”, “sunatullah”, dan ‘takdir” adalah konsep
metafisis, karena pada prinsipnya harus diterima atas dasar keyakinan. Konsep
semacam ini tidak mempunyai rujukan atau petunjuk empiris, tidak dapat diukur
dan ditentukan melalui panca indra, dan tidak dapat diumpamakan secara khusus untuk
membantu sejarawan dalam konseptualisasi peristiwa-peristiwa (empiris).
E. Perubahan Sebagai Asas
Konsepsi Sejarah
Kerangka konseptual dan teoritik untuk penelitian sejarah di atas,
terutama pada sifatnya yang kausaalitas, biasanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
sejarah tentang proses-proses perubahan. Hal ini sangatlah lazim dalam
pemikiran sejarah, karena suatu proses sejarah pada dasarnya adalah juga proses
perubahan (Ankersmith, 1987: 192). Terkait dengan relevansi sejarah dengan
perubahan ini, maka dapatlah dikatakan bahwa asas pengembangan kerangka
konseptual bagi penelitian sejarah lebih ditekankan kepada prespektif perubahan
tersebut.
Secara umum, perkembangan peristiwa dalam kurun waktu tertentu
memang bertemu dengan bermacam-macam perubahan yang memengaruhinya. Mengenai
perubahan sosial misalnya, pendekatan sejarah perlu melacak struktur sosial
yang melatar belakangi perubahan-perubahan dalam masyarakat, termasuk
konflik-konflik sosial dan kepentingan, sistem-sistem tradisional, dan
keagamaan, dan pola hubungan antar kelompok dalam masyarakat yang bersangkutan
(Poloma, 1984: 23). Kemudian peristiwa-peristiwa itu di dalam gejalanya lebih
kompleks dapat dilihat pula dari adanya transformasi
structural, yang ditelusuri adanya proses integrasi
dan diintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi, dan proses perubahan
jenis-jenis solidaritas di dalam sejarah.
Pengembangan metodologi sejarah
berkenaan dengan perubahan-perubahan sesuatu peristiwa, sedikitnya didasarkan
pada dua arah yang berlawanan. Pertama, melakukan dedukasi dari yang umu ke yang khusus, dengan
memperbandingkan model-model umum perubahan sejarah untuk melihat apa
model-model peristiwa yang di ditemukan dan dapat di modifikasi. Kedua, melakukan induksi dari yang
khusus ke yang umum dalam upaya menggambarkan proses perubahan pada masyarakat
tertentu, dan untuk mencari keseimbangan beberapa refleksi tentang hubungan
problematis antara peristiwa dan struktur. Perlu ditekankan disini, bahwa
‘perubahan sosial’ dalam studi sejarah adalah perubahan-perubahan struktur dan
fungsi, yang dilihat digunakan dalam menganalisis perubahannya itu mencakup
perkembangan berbagi peristiwa (burke, 2001 : 195-196).
Banyak teori yang ditemukan para ahli
sejarah maupun social tentang konsep perubahan dan model-modelnya. Studi ini
menjelaskan dua model penting tentang perubahan yang dikemukakan Spencer dan
Marx. Model Spencer, yang bersifat evolutif dan linear,
adalah model yang menekankan pada evolusi social, yakni perubahan berlangsung
secara pelan-pelan dan kumulatif, dan perubahan ditentukan dari dalam
(endogen). Dalam hal ini, menurut Spencer, perubahan terjadi dari ‘hemogenitas’
yang tidak koheren ke heterogenitas koheren’(Burke, 2001: 198).
Model Spencer tersebut juga
dikembangkan oleh Weber dan menghasilkan model modernisasi, yaitu proses
perubahan dipandang secara esensial sebagai suatu perkembangan dari dalam, dan
dunia luar hanya berperan sebagai pemberi rangsangan untuk ‘adaptasi’. Proses
perubahan, yang dimaksudkan Weber,
digambarkan dalam pertentangan antara masyarakat tradisional dan
masyarakat modern. Budaya masyarakat tradisonal sering dikatakan religious,
magis dan bahkan tak rasional, sementara budaya masyarakat modern dianggap
sekuler, rasional, dan ilmiah. Weber sendiri menganggap sekulerisasi sebagai
‘hal yang mengecewakan pada dunia’ (enzauberung der welt), dan bentuk-bentuk
organisasi yang lebih rasional adalah karakteristik pokok proses modernisasi,
yakni konsep ‘rasa keterpanggilan Protestan ( asketisme duniawi ) dipandang
sebagi tahap krusial dalam proses modernisasi ( Burke, 2001:200 ).
Berbeda dengan model Spencer, perubahan
model Marx ( atau model konflik ) menggambarkan model atau tahapan perkembangan
masyarakat yang revolusioner. Perubahan dalam model ini secara umum melihat
perkembangan masyarakat bergantung pada system ekonomi dan mengandung
konflik-konflik social yang mengakibatkan timbulnya krisi, rovolusi, dan
perubahan yang terputus-putus. Model ini tidak hanya memberi tempat bagi
penjelasan-penjelasan perubahan dari perspektif factor eksogen (luar), tapi
juga memberikan penjelasan lebih global yang menekankan pada relasi antara
perubahan pada suatu masyarakat dan perubahan di masyarakat lain. Di samping
itu, model Marx lebih memerhatikan mekanisme perubahan dilihat dalam pengertian
dialektik. Dengan kata lain, penekanannya pada konflik dan pada akibat yang
bukan hanya tidak dimaksudkan, melainkan sangat berlawanan dengan apa yang di
rencanakan dan diharapkan. Penekanan pada revolusi memang merupakan
karakteristik model Marx, bila dikontraskan dengan model Spencer.
Dengan mengacu dua model perubahan
social tersebut, kekuatan dan kelemahan keduanya dapat dimodifikasi sebagai
sebuah sintesis dalam kerangka konseptual sejarah. Mengikuti pendapat Peter
Burke, bahwa implikasi model-model perubahan seperti itu secara sintesi adalah
secara penolakan secara hitam putih terhadap tiga dikotomi, yaitu antara
kontinuitas dan perubahan, antara factor internal dan eksternal, dan antara
struktur dan peristiwa ( Burke, 2001: 240 ). Konsepsi perubahan pada dasarnya
sealau terkait dengan konsepsi kontinuitas. Dalam hal ini, apa yang disebut
sebagai “teori generasi” oleh Karl Manheim sesungguhnya menekankan pada ‘lokasi
bersam dalam proses-proses social atau mentalitas. Sementara itu, ‘campur
tangan dari luar’, yang dikembangkan Wachtel dan Sahlins, yang menyatakan bahwa
perubahan tidak hanya dari perspektif eksternal saja, menekankan hubungan atau
kesesuaian anatar factor dalam (endogen) dan luar (eksogen). Dari model-model
perubahan tersebut, diharapkan dapat terbahas factor-faktor yang menyebabkan
sebagian masyarakat relative terbuka (atau rentan) terhadap pengaruh lauar,
sedangkan sebagian lebih sanggup bertahan dari pengaruh tersebut.
F. Sumber
dan Fakta Sejarah
1.
Sumber
Sejarah
Sumber sejarah sering kali disebut
juga “data sejarah”. Kata “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal
“datum” (bahasa latin) yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo,1995:94). Data
sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan,
penyeleksian, dan pengategorisasian. Sejumlah sumber yang tersedia pada
dasarnya adalah data verbal yang membuka kemungkinan bagi peneliti sejarah
untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal.
Adapun klasifikasi sumber sejarah itu
dapat dibedakan menurut bahannya, asal-usul atau arutan penyampiannya, dan
tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahanya dapat dibagi menjadi dua :
tertulis dan tidak tertulis. Sumber sejarah menurut urutan penyampian nya dapat
dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sementara menurut
tujuanya, sumber sejarah dibagi atas sumber formal dan sumber informal.
Berikut ini akan dijelaskan lebih
lanjut tentang jenis sumber seajarah berdasarkan bahanya.
a.
Sumber
tertulis
Kumpulan data verbal yang berbentuk
tulisan, dalam arti sempit, biasa disebut dengan dokumen. Sedangkan dokumen
dalam arti yag luas juga meliputi monument, artefak, foto-foto, dan sebagainya.
Dokumen tertulis itu, seperti pembagian R. van Niel atas sumber-sumber sejarah
Jawa pada abad XIX yang tertulis dalam bahasa-bahasa Barat, ada enam kategori,
yaitu dokumen-dokumen pemerintah yang telah diterbitkan, dokumen-dokumen
pemerintah yang belum diterbitkan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi
yang belum diterbitkan, surat-surat keluarga, dan catatan-catatan perjalanan (
Alfian, 1984: 35 ).
Lebih luas lagi, Louis Gottschalk (
1983: 60-77 )mengkategorisasikan dokumentertulis menjadi 8 jenis: (1) rekaman
sezaman: instruksi, rekaman stenografis dan fonografis, surat-surat niaga dan
hokum, buku-buku catatan dan memori pribadi; (2) laporan konfidensial: berita
resmi militer dan diplomatic, jurnal atau buku harian, dan surta-surat pribadi;
(3) laporan umum: surat-surat kabar, memoir dan autobiografi, sejarah resmi
atau diotorisasi; (4) kuesioner: tertulis tentang informasi dan opini; (5)
dokumen-dokumen pemerintah: laporan badan pemerintahan, undang-undang dan
peraturan-peraturan; (6) pernyataan opini: tajuk rencana, esei, pidato, brosur,
surat kepada redaksi, dan sebagainya; (7) fiksi: nyanyian dan puisi; (8) cerita
rakyat atau folklore: nama-nama tempat, dan pepatah atau peribahasa.
Selain jenis dokumen-dokumen di
atas, Garraghan ( 1995: 241-258 ) menambahkan dua kategori su,mber tertulis
lainnya, yaitu (1) annal dan kronik, yakni bentuk-bentuk historiografi Abad
Pertengahan; keduanya merupakan kelompok sumber spesifik yang meminta banyak
perhatian kritis dari sejarawan; (2) inskripsi, yakni sejumlah besar data
(politik, hukum,ekonomi, social, dan agama ) yang tertambat dalam bentuk tulisan
pada batu, perunggu, marmer, perkamen, atau bahan-bahan keras lainya.
Data yang tercantum dalam
bahan-bahan dokumneter itu pada dasarnya merupakam alat untuk mempelajari
permasalahan tertentu, terutama permasalahan yang tidak dapat diobservasi lagi
atau tidak dapat diingat lagi. Namun bahan-bahan itu juga sering kali tidak
lengkap, tidak representative, tidak koresfondensif, dengan model konseptual,
bahkan tidak memuat sama sekali data yang relevan bagi permasalahan yang sedang
diselidiki. Untuk semua ini, selain perlu diperhatikan segi-segi autentisitas
dan kredibiltas dokumen itu ( akan dibahas lebih lanjut dalam bab mengenai
metode sejarah ), penting pula dipersiapkan terlebih dahulu konsep dan teori
yang sangat berguna untuk mensistematiskan data dan mengklasifikasikannya
berdasarkan jenis dan karakterisktik dokumen, seperti digambarkan Prof. Sartono
Kartodirjo ( 1974: 23-24 ), antara lain dapat diorganisasikan fenomena
kemasyarakatan dalam perkembangan historis. Menurut sejarawan ini, data social
secara konseptual bias dilihat dari cirri-ciri setiap bentuk bahan documenter
dibahwah ini.
1.
Autobiografi
Autobiografi lazimnya dibedakan
menjadi tiga macam. Pertama, autobiografi komprehensif, yaitu autobiografi yang
panjang dan bersegi banyak. Kedua, autobiografi topical, yaitu isinya pendek
dan bersifat khusus. Ketiga, autobiografi yang diedisikan ,yakni autobiografi
yang telah disusun oleh pihak lain.Data autobiografi sangat berguna bagi
psikologi,karena didalam dokumen seperti itu termuat factor-faktor subjektif
seperti segi-segi efektif ,motivasi, harapan-harapan ,dan pengalaman,termasuk
juga di dalamnya interprestasi dan konseptualisasi terhadap faktor-faktor
itu.Autobiografi dapat pula memberikan data tentang faktor-faktor objektif
umpamanya nilai sosial ,proses sosial ,situasi sosial ,dan perubahan
sosial.Misalnya autobiografi Muhammad natsir ,yang disusun oleh pihak lain
,yaitu yusuf Abdullah puar(1978).di dalamnya di gambarkan kehidupan masyarakat
minangkabau ,timbulnya system pendidikan modern ,kehidupan di kota pada
pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan Indonesia ,gerakan modern islam
,nilai-nilai baru pada golongan elite agama ,para politisi dan kaum
intelengensia muslim dengan idealismenya tentang kehidupan bernegara.
2. Surat-surat pribadi, catatan atau
buku harian dan memoirs
Surat-surat pribadi sebagai bahan
documenter biasanya memuat hal-hal penting, antara lain: (1) hubungan dyanic,
(2) pokok pembicaraan tentang hubungan dan lembaga social; (3) tatasusila dan
adat istiadat yang tercermin dalam bahasa surat itu. Contoh yang paling akrab
dengan sejarah masyarakat Indonesia ialah surat-surat RA. Kartini kepada nyonya
abendanun yang terkumoul dalam buku habis gelap terbitlah terang. Buku ini
tidak hanya memuat idealisme tokoh wanita Indonesia tentang emansipasi, tetapi
juga memuat data tentang tradisi kuno dalam lingkungan keluarga bupati, cara
pendidikan anak parempuan, kedudukan wanita dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat jawa pada pemulaan abad ini.
Buku harian merupakan dokumen yang
sangat pribadi sifatnya. Dokumen semacam ini jarang sekali didapatkan, apalagi
untuk masa lampau, boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Di Indonesia, orang
mengenal buku harian baru pada beberapa decade terakhir dan terbatas pada
kalangan pejabat pemerintah atau kaum elit saja. Satu contoh diantara catatan
harian yang langkah itu ialah Jakarta Diary dari Mochtar Lubis yang banyak
memuat data tentang situasi masyarakat Indonesia pada masa demokrasi terpimpin.
Didalamnya terdapat pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan interpretasi
tentang kejadian-kejadian serta situasi lingkungannya. Sejenis dengan dokumen
pribadi ini adalah memoirs,tetapi didalamnya tidak banyak menyinggung masalah
pribadi, melainkan persoalan umum. Kebanyakan memoirs merupakan kisah
perjalanan , sehingga bisa didapatkan tentang keadaan tentang suatu negeri,
kota atau daerah. Kisah perjalanan yang ditulis Tome Pires di dalam suma
oriental, misalnya, memberikan gambaran struktur social dari masyarakat muslim
pada abad ke-16 di kerajaan dan kota pantai seperti Malaka dan kota-kota pantai
utara Jawa Timur, khususnya Tuban. Demikian halnya catatan perjalanan Ibnu
Batuta.
3) Surat kabar
Data yang dimuat dalam surat kabar
kadang telah menunjukkan fakta, disamping juga merupakan opini, atau
interpretasi dan pikiran-pikiran spekulatif. Cakupan data di dalam surat kabar
sangatlah luas, meliputi persoalan lokal maupun internasional dan secara
substantive mencakup segala segi kehidupan sosial. Namun demikian, fakta-fakta
dalam surat kabar pada umumnya sering kurang teliti atau berita-beritanya
masihdangkal. Hal ini disebabkan singkatnya waktu yang tersedia untuk mengolah
informasi-informasi atau untuk mengumpulkan informasi dari banyak sumber
tertutup, misalnya laporan- laporan pemerintah yang bersifat rahasia. Selain
itu segi-segi subjektifitas surat kabar cukup jelas, karena pada umunya ia
menjadi saluran aspirasi dari golongan politik atau sosial tertentu.
4) Dokumen pemerintah
Di dalam dokumen pemerintah biasanya
dimuat keputusan-keputusan, berita-berita, laporan-laporan pemerintah tentang
peristiwa-peristiwa, laporan tahunan, data statistik, pernyataan pemerintah,
daftar personalia birokrasi, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini lebih bersifat
sepihak ( pemerintah ), tidak mencerminkan pikiran, ide, sentiment, aktifitas,
dan hubungan sosial pada rakyat. Hal ini sangat kentara dalam dokumen
pemerintah kolonial Belanda, misalnnya, sehingga realita konkret dari kehidupan
rakyat di pedesaan atau kota-kota kecil tidak dimuat. Oleh karena itu, sangat
sulit didapatkan data sosiologis seperti kedudukan sosial-ekonomi dari elit
pedesaan, stratifikasi sosialnya, hubungan antar Prestise dan kekuatan, dan
sebagainya dari dokumen pemerintah itu.
5) Cerita roman
Karya sastra , sepeti roman dan novel, pada dasarnya tidak hanya merupakan karya ekspresif seorang pengarang, tetapi di dalamnya kadang juga mengungkap data yang menyangkut keadaan sosial dari periode tertentu. Keadaan sosial seperti struktur sosial, kelas sosial, dan lembaga-lembaga sosial datanya bisa didapatkan dalam cerita roman, bahkan penggambaran keadaan sosial itu cenderung lebih mendekati kenyataan dan tidak dilukiskan semeta-mata menurut fantasia tau imajinasi yang bebas. Serat musyawaratan para wali, misalnya. Tokoh-Tokoh dalam cerita ini menunjukkan struktur keagamaan seperti para wali, lembaga musyawarah, sitem interaksinya, dan sebagainya. Contoh lainnya adalah serat centini, yaitu karangan yang menggambarkan kehidupan sosial dar periode awal dan pertengahan Mataram. Begitu pula bila kita membaca novel yang ditulis K H Saifudin Zuhri yang berjudul guruku orang-orang dari pesantren (1974), didalamnya banyak memuat informasi tentang kiprah para pemimpin pesantren di Jawa dari periode akhir Belanda, zaman Jepang, dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Dalam karya terakhir ini, juga terdapat data dam fakta gaya hidup dan pandangan kiai, gerakan organisasi keagamaan dan idealisme kaum sanyri untuk perjuangan kebangsaan dan kenegaraan.
b. sumber tak tertulis
Termasuk dalam kategori sumber tak
tertulis ini adalah artefak dan sumber lisan. Artefak dapat berupa foto-foto,
bangunan, atau alat-alat. Foto sangat mungkin dimiliki oleh keluarga,
organisasi sosial, organisasi profesi, atau instansi-instansi. Foto setiap
generasi akan akan menunjukkan perubahan sosial antar-berbagai struktur sosial.
Lewat foto mungkin terlihat data tentang gaya hidup keluarga, perabot rumah
atau kantor, jenis pakaian dan kendaraan, suasana sidang para pemuka
organisasi, dan sebagainya. Demikian juga dari bangunan, akan dijumpai data
yang bersumber pada model-model arsitektur yang diciptakan oleh tiap generasi.
Rancang-bangun mesjid, misalnya, banyak mengalami perubahan, sebab terkait
dengan fungsi-fungsi kegiatan jamaah. Fungsi masjid pada dasarnya untuk
kegiatan ibadah, tetapi lebih luas lagi mencakup kegiatan sosial-budaya. Oleh
karena itu, pengurus masjid mengusahakan adanya kantor secretariat, dapur umum,
tempat penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan, dan alat-alat yang dibutuhkan
bagi kegiatan.
Sumber tidak tertulis yang lain adalah
sumber lisan. Sumber ini secara metodologis merupakan bahan inti bagi sejarah
lisan. Pengetahuan tantang kejadian-kejadian masa lampau pada data atau
informasi yang masih tersebar secara lisan. Garrahan (1957: 259-260)
mengklasifikasikan sumber dimaksud menjadi dua katergori. Pertama, penyebaran
lisan tentang kejadian- kejadian yang baru atau peristiwa-peristiwa yang masih
terekam di dalam ingatan orang./ data liisan seperti ini dapat dicapai melalui
dua jalan: melalui saksi mata yang paling dekat dengan kejadian dan melalui
saksi mata perantara karena sulit merunut kemb ali saksi terdekat.
Kedua, penyebaran liisan tentang
peristiwa-peristiwa yang tipis kemungkinan terjadinya. Sumber ini lebih dikenal
dengan istilah tradisi lisan, yakni infomasi-informasi tentang kejadian sejarah
disebarkan dari mulut kemulut: saksi terdekat maupun saksi perantara tidak
dikenal, kecuali saksi yang menghubungkan infomasi itu kepada pendengar.
Tradisi lisan ini biasanya tersebar melelui tiga jenjang. Pertama, melelui
cerita yang disampaikan oleh bapak kepada anaknya, dari guru kepada muridnya,
atau dari generasi ke generasi berikutnya. Kedua, cerita sejarah diperkenalkan
dalam adat istiaadat, kebiasaan-kebiasaan, lembaga dan upacara keagaamaan.
Ketiga, cerita sejarah diabadikan dalam tulisan dalam bentuk-bentuk gambar.
Menurut garraghan (1957: 269-270),
sumber lisan ini meliputi sejumlah sumber berikut:
1.
Fable
(fable)yaitu suatu cerita yang aktornya terdiri atas binatang-binatang buas,
burung-burung, makhluk hidup yang bukan manusia (makhluk gaib), atau
personifikasi abstrak lainnya yang mengambil perwatakan manusia. Barangkali
karya Hayy bin Yaqdan merupakan salah satu contohnya.
2. Dongeng (tale), yaitu suatu
cerita Yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan actor yang tidak menentu.
Sebagai contoh adalah dongeng si kabayan dari tanah pasundan
3. Mitos (myth) yaitu suatu cerita
atau sejenisnya yang bersumber seperti halnya sejarah tetapi sarat dengan
khayalan. Mitos selalu memuat tentang kehidupan manusia, dan biasanya mengambil
manusia super sebagai tokohnya. Kisah para wali, misalnya, sering kali mengarah
kepada bentuk mitologis oleh para pengagumnya.
4. Legenda (legend), yaitu suatu
cerita yang dalam berbagai hal berisi kebenaran, termasuk didalamnya
elemen-elemen historis sering kali mengandung isi actual. Contohnya, situs kota
troya lama berdasarkan legenda Helen of troy atau great horse of troy.
Garaghan, mengkuti pendapat lanzoni dan de smelt, membedakan dua tipe legenda.
Pertama, legenda murni yang isinya tidak langsung memuat data sejarah.Kedua,
legenda yang bersifat sejarah, yakni yang mengandung isi yang bersifat sejarah
dalam berbagai tingkatan. Kedua tipe tersebut bisa dipergunakan sebagai sumber
sejarah, sebab, walaupun legenda itu bersifat khayalan murni, dapat memberikan
cakrawala tentang berbagai macam kebudayaan dan peradaban.
5. Saga, yaitu suatu cerita yang
berpusat pada tokoh pahlawan. Saga biasanya merupakan cerita yang diambil dari
fakta atau kebenaran dalam literature dengan mengungkapkan tokoh-tokoh pahlawan
dan nilai-nilai kepahlawanannya.
2. Fakta Sejarah
Sebuah artikel yang menjelaskan
tentang fakta-fakta sejarah ditulis oleh Carl L. Backer yang berjudul “what are
historical fact ?”. tulisan ini dimuat dalam han mayer hoff, the philosophy af
history in our time (1959), halaman 120-137. Tulisan tersebut dipandang
representative bagi pembahasan berikut ini, dan disini dikemukakan
ringkasannya.
Backer memulai uraiannya dengan
memberikan penegasan bahwa sejarah itu umumnya ditulis berdasarkan pemikiran
dan tindakan berdasarkan masa lampau. Oleh karena itu, sejarawan harus berusaha
mengadakan pendidikan guna mengetahui segala yang telah diperbuat dan
dipikirkan oleh manusia pada masa lampau. Dengan proses penyelidikan itu pula
sejarawan harus bekerja untuk memperoleh fakta-fakta sejarah dan dapat
memaparkannya. Persoalannya, apakah semua kejadian masa lampau itu dapat
dikatakan fakta ?.
Menurut backer, fakta-fakta dapat
dibedakan menjadi dua. Pertama, fakta-fakta keras (hard fact), yaitu
fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya. Kedua, fakta-fakta lunak (cold fact),
fakta-fakta yang belum dikenal dan masih perlu diselidiki kebenarannya.Untuk
menguji kebenaran fakta-fakta tersebut, sejarawan harus mendapatkan bukti-bukti
yang kuat, selanjutnya, sejarawan juga harus pandai mengolah dan menyusun
fakta-fakta itu agar dapat membuahkan rekonstruksi dalam bentuk kisah.
Secara lebih gambling lagi, baker
mengajukan tiga pertanyaan pokok mengenai fakta-fakta sejarah : apakah fakta
sejarah, dimanakah fakta sejarah itu, dan kapan fakta sejarah itu muncul ?
dibawah ini keterangan-keterangan atas ketiga permasalahan tersebut.
Pertama, apakah fakta sejarah itu ?
fakta adalah “suatu statement tentang suatu kejadian atau peristiwa”. Sebagai
contoh, pada tahun 710 thariq bin ziyad mendarat didekat bukit jibraltar.
Hampir semua orang tahu akan fakta ini, karena ini merupakan salah satu
peristiwa penting dalam penyebaran islam ke spanyol. Namun, fakta dimaksud
masih sangat sederhana sehingga untuk kelengkapannya menimbulkan beberapa
pertanyaan,antara lain,apakah sewaktu pendaratan thariq itu dengan kuda atau
kapal ? apakah selat yang dilalui thariq itu panjang, lebar, dangkal atau curam
? berapa lama thariq menyeberangi selat ? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
dapat diajukan guna melengkapi fakta tadi. Tentu saja melalui sejumlah
pertanyaan tersebut akan dapat dipertanyakan seribu satu peristiwa dalam
menyusun fakta tentang tokoh diatas. Yang jelas, suatu fakta itu tidak unggul,
melainkan sangat kompleks, atau dalam pengertian lain bahwa fakta itu tidak
lebih dari sekedar “simbol” berupa “statement sederhana” yang dibentuk dari hasil
generalisasi fakta-fakta.
Fakta yang tampak lebih simbolis,
misalnya, hasil penelitian para sejarawan jerman pada pertengahan abad 19
tentang adat-istiadat dari suku-suku primitif bangsa jerman. Mereka menemukan
suatu lembaga komunal yang disebut “nenek moyang bangsa jerman atau teutonic
mark”. Fakta ini merupakan hasil imajinasi para sejarawan dan meluas sebagai
suatu mitos. Teutonic mark tetap merupakan fakta sejarah yang berasal dari
sejarawan jerman abad 19 itu.
Berdasarkan gambaran diatas, sangat
penting bagi sejarawan untuk selalu selektif dalam memilih kejadian sejarah dan
menentukan kenyataan yang menguatkan faktanya, walaupun sejarawan itu sendiri
tidak sampai mendapatkan fakta keras; sebab sejarawan memang tidak langsung
berhadapan dengan kejadian itu, melainkan melainkan melalui bekas-bekas atau
statement tentang peristiwa. Dengan demikian, fakta sejarah bukan semata-mata
kejadian masa lalu, melainkan juga suatu symbol yang memungkinkan dapat diberi
makna secara imajinatif. Melalui pemaknaan symbol itulah sejarawan dapat
menyatakan bahwa fakta itu adalah hard atau cold dan benar atau keliru.
Kedua, dimanakah fakta sejarah itu ?
dapat dikatakan bahwa fakta sejarah akan hanya terdapat didalam pikiran
seseorang. Misalnya, “peristiwa pembunuhan Abraham Lincoln di ford’s theatre di
Washington pada 14 april 1865”, ini merupakan peristiwa yang actual dan
merupakan fakta atas pernyataan yang benar-benar terjadi. Sungguhpun ia menjadi
pembicaraan pada 1997, kita mengatakannya sebagai peristiwa actual, dan sekarang
kita menyebutnya juga sebagai fakta sejarah. Antara peristiwa actual dengan
fakta sejarah memang kadang satu pengertian, padahal antara keduanya jelas
berbeda. Bila dipertanyakan, dimanakah fakta tentang peristiwa terbunuhnya
Lincoln sekarang ? jelaslah kejadian itu sudah lewat, danm kini kita tidak
menemukan lagi peristiwa itu, yang ada hanyalah kebenaran yang terbatas dari
ingatan sejarawan, bahkan ada pula fakta yang hilang dari kejadiannya
sediakala. Kemudian, apa yang mesti dilakukan para sejarawan dalam upaya
melakukan memunculkan sesuatu yang hilang itu ? sejarawan dapat memaparkan
kembali peristiwa-peristiwa bersangkutan melalui imajinasinya dengan bantuan
sumber-sumber yang ada, yaitu berupa buku-buku, surat-surat kabar,
catatan-catatan harian, dan sebagainya. Begitu pentingnya sumber tertulis,
sebab dengan tulisan atau catatan itulah manusia dapat mengabadikan ingatannya.
Ketiga, kapan fakta sejarah itu
muncul ? apabila fakta sejarah sekarang itu muncul secara imajinatif didalam
pemikiran seseorang maka fakta itu menjadi bagian dari waktu sekarang.
Perkataan, sekarang sebetulnya merupakan suatu istilah yang tidak pasti : ia
adalah suatu titik yang tidak dapat dibatasi didalam waktu dan akan hilang
sebelum seseorang memikirkannya. Bayangan atau ide yang ada sekarang akan
segera masuk kedalam masa lampau, sebagaimana halnya gambaran atau ide tentang
masa lampau itu selalu tidak dapat dipisahkan dari gambaran atau ide tentang
masa yang akan datang. Oleh karena itu, apakah masih dapat diingat sesuatu yang
diperbuat sekarang itu secara lengkap ? tentu saja hanyalah beberapa hal
penting saja yang dapat dicatat, tetapi dengan membaca kembali catatan-catatan
itu berartti sejarawan tertolong untuk mengingat kembali beberapa peristiwa
yang telah lampau. Jadi, masa sekarang, melalui imajinasi dan ide yang
terkandung didalamnya, merupakan pertemuan dan perpanjangan masa lampau kemasa
yang akan datang.
Disegi lain, dapat pula dikatakan
bahwa fakta-fakta sejarah itu akan muncul apabila terdapat suatu tujuan. Pada
fakta-fakta tentang kongres berlin, misalnya, seseorang akan menghidupkan
kembali fakta-fakta itu melalui pikiranya ketika ia mempunyai tujuan berkenaan
dengan kongres. Bagaimanapun tanpa tujuan itu ia akan merasa sia-sia mencari
kesulitan untuk menghidupkan kembali untuk fakta-fakta sejarah didalam
ingatanya. Tujuan akan sesuatu fakta sejarah itu dapat muncul atau terjadi
kapan saja. Persoalannya, apakah pencatatan dan pengingatan seseorang itu dapat
bersifat objektif? Tentu saja setiap penulis akan memberikan makna dan
penafsiran terhadap sesuatu kejadian dengan wawasan yang berlainan, dan setiap
generasi kembali menulis sejarahnya dengan tafsiran dan konstruksi yang sesuai
dengan jaman. Dengan begitu, jelaslah bahwa fakta-fakta sejarah itu bersifat subjektif.
Setiap orang tidak akan dapat menghapuskan sama sekali perasaan pribadinya
didalam menggambarkan suatu peristiwa. Wawasan sejarawan sekarang dapat
mempengaruhi jalan pikiran manusia di masa lampau, sama halnya pikiran
sejarawan yang lampau dapat mempengaruhi pikiran sejarawan sekarang. Jadi,
fakta-fakta sejarah dapat dipisahkan dari masa lampau masa kini dan masa yang
akan datang.
Daftar
Pustaka
Abdurrahman, Dudung.2007.Metodologi sejarah.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Nb: Kutipan
Comments
Post a Comment