Metodologi Penelitian Pendidikan Sejarah

Nama: Masnur Afika Rizaxi
Nim: 1105120626
Jurusan: FKIP Pendidikan Sejarah 2011
Universitas Riau

METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN SEJARAH

A. Ilmu Sejarah
Pengertian yang lebih komprehensif tentang sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia. Definisi ini mengandung dua makna sekaligus, yakni sejarah sebagai kisah atau cerita dan sebagai peristiwa. Sejarah sebagai kisah merupakan sejarah dalam pengertiannya secara subjektif, karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi pengetahuan manusia. Sedangkan sejarah sebagai peristiwa merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa masa lampau itu sebagai kenyataan yang masih di luar pengetahuan manusia. Berdasarkan pengertian terakhir, peristiwa sejarah itu mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia (Kuntowijoyo, 1995: 17). Karena itu, lapangan sejarah meliputi segala pengalaman manusia yang mengungkapan fakta mengenai apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana sesuatu telah terjadi.
Untuk mempertegas pemaknaan sejarah sebagai ilmu, kiranya terlebih dahulu perlu ditelusuri asal-usul kata sejarah itu sendiri. 'Sejarah' dikatakan berasal dari kata Arab 'syajarah', yang artinya `pohon'. Dalam bahasa acing lainnya, istilah sejarah disebut histore (Prancis), geschichte Uerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), dan history (Inggris). Akar kata history ini berasal dari historic (Yunani) yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala clam, terutama mengenai umat manusia yang bersifat kronolo­gis, sedangkan yang tidak bersifat kronologis dipakai kata scientia atau science (Alfian, 1984: 3). Dalam perkembangannya, sejarah hanya terbatas pada aktivitas manusia berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu (unik) yang disusun secara kronolo­gis. Sedangkan ilmu sejarah merupakan ilmu yang berusaha menentukan pengetahuan tentang masa lalu suatu masyarakat tertentu (Gazalba, 1981: 2). Disiplin sejarah sebetulnya sejajar dengan ilmu-ilmu social yang lain seperti sosiologi, ilmu politik, dan antropologi; tetapi sejarah membicarakan masyarakat dengan selalu memerhatikan signifikansi ruang dan waktu.
Sejarah sebagai "cerita tentang peristiwa di masa lampau" pada mulanya sangatlah naratif, yang hanya tersusun berdasarkan urutan fakta dengan penjelasan dan ulasan sekadarnya atas kenyataan-kenyataan atau peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.
Laporan tentang masa lalu seperti ini biasanya disebut "sejarah naratif'. Sejarah naratif ini bercirikan: 1) uraian logis mengenai suatu proses perkembangan terjadinya peristiwa; 2) berdasarkan common sense (akal sehat), imajinasi, keterampilan ekspresi bahasa, dan pengetahuan fakta; 3) proses terjadinya peristiwa secara genesis (dari awal sampai akhir); 4) keterangan mengenai sebab-sebabnya (kausalitas) secara deskriptif; dan 5) ditulis tanpa memakai teori dan metodologi.
Kebalikannya adalah "sejarah ilmiah" atau "sejarah analisis". Kriteria utama sejarah ilmiah ini adalah mengkaji dan menyajikan suatu kejadian di masa lampau dengan menerangkan sebab-sebabnya yang bersumber pada kondisi lingkungan peristiwa (kondisional dan konteks sosial-budaya (kontekstu­a~. Namun, pelukisan sejarah ilmiah yang pada gilirannya bertujuan memberikan makna dan penjelasan tentang faktor­faktor terjadinya suatu peristiwa tersebut dapat dilakukan secara, implisit di dalam deskripsi dengan berdasarkan konsep dan teori yang relevan (Kartodirdjo, 1992: 3). Karena itu, dalam proses penulisan sejarah sebetulnya bisa terjadi penggabungan antara naratif dan analisis.
Terlepas dari dua kategori ilmu sejarah di atas, berbagai penyajian dan jenis sejarah muncul sesuai dengan sudut pandang sejarawan, kultur yang memengaruhi, dan masa yang melahirkan. Segala bentuk penyajian sejarah merupakan pengetahuan yang dapat berfungsi untuk beragam kegunaan. Menurut Wang Gungwu, sebagaimana dikutip T Ibrahim Alfian (1985: 3), sejarah memiliki beberapa kegunaan. Pertama, untuk melestari­kan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok itu guna kelangsungan hidup. Kedua, untuk mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh di masa lalu sehingga memberikan azas manfaat secara lebih khusus demi kelangsungan hidup. Ketiga, sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati.
B. Penulisan Sejarah
Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif.
Bagi sejarawan yang menganut "relativisme historis", sikap netral dalam pengkajian dan penulisan sejarah itu sulit direalisasikan. Karena pengetahuan sejarah itu pada dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta pada suatu bahasa lain, menundukkannya pada bentuk-bentuk, kategori-kategori, dan tuntutan-tuntutan khusus (Al-Syarqawi, 1981: 124).
Di samping alasan praktis di atas, ternyata dimungkinkan lebih banyak lagi faktor yang menyebabkan terjadinya subjektivi­tas. Ibn Khaldun (1332-1406), sejarawan Muslim, menyebutkan tujuh faktor yang dipandangnya sebagai kelemahan dalam karya historiografi, yaitu 1) sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab­mazhab tertentu, 2) sejarawan terlalu percaya kepada pihak penukil berita sejarah, 3) sejarawan gagal menangkap maksud­maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan.fv atas dasar persangkaan keliru, 4) sejarawan menberikan asumsi yang tidak beralasan terhadap sumber berita, 5) ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, 6) kecendrungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh, dan 7) sejarawan tidak mengetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Bila ketujuh alas an tersebut atau sebagian darinya mewarnai karya sejarah suatu generasi, maka generasi sejarawan yang lain juga akan terpengaruh dengannya.
       Kalau kepribadian sejarawan tak dapat disangkal lagi merupakan faktor dominan yang dapat menjuruskan penulisan sejarah menjadi subjektif, maka seluruh kesadaran sejarawan itu sesungguhnya terselimuti oleh sistem kebudayaannya. Dalam hal ini, Sartono Kartodirdjo (1992:64) mendefinisikan-nya sebagai subjektivitas kultural, yakni sikap atau pandangan penulis sejarah yang berhubungan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat akan lebur dalam proses sosialisasi sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya terpola menurut struktur etis, estetis,dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat. Proses enkulturasi itu serta merta sangat memengaruhi pandangan penulis terhadap sejarah. Empu sejarawan Indonesia juga menandaskan bahwa didalam subjektivitas kultural itu tercakup pula subjektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam waktu tertentu. Karena seorang sejarawan merupakan anak zamannya dan bersama dengan orang-orang sezaman, tetapi ia pun menerima nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu (Ankersmit, 1987:333). Subjektivitas waktu ini disinyalir lebih sulit untuk diatasi, apalagi dalam merekonstruksi sejarah komtemporer.
       Berdasarkan tinjauan subjektivitas sejarah diatas, timbullah persoalan apakah penulisan sejarah itu bisa menampilkan kenyataan objektif, dan bagai manakah sejarawan mampu mencapai obkektivitas sejarah?  Pada dasarnya seiap hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat diperoleh pula hal-hal yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi kesahihannya (Alfian, 1984:6). Fakta keras atau fakta yang telah menjadi pengetahuan umum  dan tidak diragukan lagi kebenarannya, seperti fakta penyerbuan bangsa Mongol terhadap ibu kota Baghdad pada tahun 1258 M, merupakan keadaan yang mendukung objektivitas. Sementara fakta lunak adalah fakta yang masih  disangsikan kepastiannya, seperti fakta penyebaran Islam ke Nusantara, yang masih terjadi silang pendapat dikalangan sejarawan. Namun demikian, apapun keadaan fakta tersebut, objektivitas sejarah sesungguhnya bisa dicapai apabila para sejarawan menyadari sebab-sebab yang memuat timbulnya ketidakpastian atau ketidaknetralan.  
          Atas dasar pertimbangan diatas, nyatalah bahwa penafsiran terhadap peristiwa sejarah akan beragam didalam historiografi yang barangkali jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah itu sendiri. Untuk itu, kejelasan tentang objek bisa dilihat dengan cara membedakan antara realitas sejarah seperti halnya yang ada dalam sejarah ( history as past actuality) dan upaya sejarawan dalam memaparkan realitas sejarah itu (history as written). Dengan kata lain, objektivitas dapat dicapai dengan jalan membedakan antara metode penelitian dalam menemukan realitas sejarah dan metode rasional guna menginterpretasikannya. Menurut Louis Gottschalk, benda-benda peninggalan masa lalu seperti mata uang, perkamen, dan reruntuhan adalah data sejarah, tetapi fakta-fakta sejarah yang hanya terdapat didalam pikiran manusia merupakan lambang atas sesuatu yang pernah nyata terdapat dalam sejarah. Baik data maupun fakta merupakan landasan mutlak atas nilai karya-karya sejarah,padahal fakta sendiri diperoleh dari kesaksian dan tidak memiliki kenyataan objektik. Untuk itu, agar fakta sejarah dapat dipelajari secara objektif, ia harus mempunyai eksistensi yang bebas diluar pikiran penulis sejarah (Gottschalk, 1983:28).
C. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Rekonstruksi Sejarah
       Pembidangan ilmu sosial yang signifikan bagi pengkajian sejarah sangatlah beragam. Gambaran mengenai suatu peristiwa sejarah akan bisa ditentukan oleh disiplin atau pendekatan tertentu, yakni dari segi mana sejarawan memandangnya, dimensi apa yang diperhatikan, unsur-unsur manakah yang diungkapkan, dan sebagainya. Dalam hal ini, konstruk-konstruk konseptual atau teori-teori ilmu sosial mempunyai daya penjelas yang lebih besar bagi sejarawan dalam memberikan keterangan historis (historical explanation).
       Diketahui bahwa sejarah sebagai ilmu tidak semata-mata bersifat naratif, tetapi ia juga bermaksud menerangkan kajian masa lampau secara analitis. Maka dari itu, dalam penulisannya dibutuhkan teori dan metodologi guna memahami berbagai unsur dan faktor penyebab dari proses sejarah. Tentu saja didalam proses itu terdapat perubahan-perubahan yang pada fase tertentu menciptakan situasi yang berbeda dengan situasi sebelum dan sesudahnya. Dalam sejarah naratif biasanya diungkapkan bagaimana suatu peristiwa terjadi, lengkap dengan keterangan tentang apa, siapa, kapan, dan dimana. Sementara dalam sejarah analitis, pernyataan-pernyataan itu lazimnya disusul dengan pernyataan mengapa, untuk dapat memahami suatu peristiwa dengan melacak sebab-sebabnya (Kartodirdjo, 1992: 108-109). Penggabungan kedua model sejarah itu menjadi sejarah ilmiah yang menggambarkan kejadian sebagai proses sekaligus mengungkapkan aspek struktural atas kejadian-kejadian.
Berdasarkan keterangan  di atas, jelaslah bahwa cara penggarapan sejarah menghendaki penggunaan metodologi.Metodologi sebagai ilmu tentang metode sesungguhnya bermuara pada pendekatan yang hanya dapat dioperasionalisasikan dengan bantuan seperangkat konsep dan teori.Oleh karena itu ,gambaran  mengenai suatu peristiwa sangat ditentukan oleh pendekatan,yakni dari segi mana kita memandangnya,dimensi apa yang diperhatikan ,dan unsur-unsur apa yang diungkapkan.Untuk itu,selanjutnya diuraikan sebagian dari bidang-bidang ilmu sosial itu,terutama sosiologi,antropologi,dan ilmu politik.
1.Pendekatan Sosiologis
       Bila pendekatan ini dipergunakan dalam penggambaran tentang peristiwa masa lalu,tentu di dalamnya akan terungkap segi-segi sosial dari peristiwa yang dikaji.Konstruksi sejarah dengan pendekatan sosiologis itu bahkan dapat pula dikatakan sebagai sejarah sosial,karena pembahasannya mencakup golongan sosial  yang berperan,jenis hubungan sosial,konflik berdasarkan kepentingan,pelapisan sosial,peranan dan status sosial,dan sebagainya.
Secara metedologis,penggunaan sosiologi dalam kajian sejarah itu,sebagaimana dijelaskan Weber ,adalah bertujuan memahami arti subjektif dari kelakuan sosial,bukan semata-mata menyelidiki arti objektif.Dari sini ,tampaklah bahwa fungsionalisasisosiologi mengarahkan pengkaji sejarah pada pencarian arti yang dituju oleh tindakan individual berkenaan dengan peristiwa-peristiwa kolektif sehingga pengetahuan teoretislah yang akan mampu membimbing sejarawan dalam menentukan motif-motif dari tindakan atau faktor-faktor dari suatu peristiwa(Kartodirdjo,1982:54).Oleh karena itu,pemahaman sejarawan dengan pendekatan tersebut lebih bersifat subjektif.
       Penelitian pergerakan sejarah atas bantuan sosiologi itu biasanya dapat pula membantu mengungkapkan proses-proses sosial yang erat hubungan dengan upaya pemahaman kausalitas antara pergerakan sosial dan perubahan sosial.Dengan kata lain,pergerakan sosial dapat ditempatkan dalam kerangka perubahan sosial yang keberlangsunganya mempunyai efek cukup luas terhadap kehidupan masyarakat.Menurut Marvin E.Olsen (1968: 137),di dalam perubahan sosial itu sering kali disertai suasana kegelisahan sosial,disintegrasi, dan konflik dan konflik sosial.Bahkan,antara konflik dan perubahan sosial itu sendiri,misalnya,pada dasarnya merupakan dua proses yang jalin-menjalin atau mempunyai efek yang timbal balik,tetapi pada kenyataannya pula satu sama lain tidak dapat disamakan karena merupakan proses yang terpisah.
Selanjutnya, Kuntowijoyo memperkenalkan enam model penulisan sejarah berdasarkan pendekatan sosiologis.Keenam model penulisan itu sekaligus berguna untuk meningkatkan keterampilan sejarawan dalam menentukan strateginya.Yaitu (1) model evolusi, yang melukiskan perkembangan sebuah masyarakat dan permulaan berdiri sampai dengan masyarakat yang kompleks; (2) model lingkaran sentral,yang menjelaskan penulisan sejarah bertolak dari titik peristiwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara sinkronis,lalu secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya; (3) model interval, yaitu berupa kumpulan lukisan yang disusun secara kronologis, tetapi antara satu periode dengan periode lainnya tanpa adanya mata rantai dan tidak selalu menujukkan hubungan sebab akibat; (4) model tingkat perkembangan, yakni tahap-tahap perkembangan masyarakat dijelaskan dengan memakai model diferensiasi struktural; (5) model jangka panjang-menengah-pendek, artinya sejarah ditetapkan dalam tiga macam keberlangsungan.Dalam hal ini, sejarah jangka panjang merupakan perulangan yang konstan tetapi perubahannya lamban sehingga perkembangan waktunya tak dapat dilihat; sejarah jangka menengah perkembangannya  lamban tetapi ritmenya dapat dirasakan; sedangkan sejarah jangka pendek adalah sejarah dari kejadin-kejadian yang berjalan dengan serba cepat; (6) model sistematis, model teakhir ini biasanya dipergunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat dalam konteks perubahan sosial.
2.Pendekatan Antrpologis
Antropologis sering kali sukar dibedakan dari sosiologi, karena kedua bidang ilmu tersebut sama-sama mempelajari masyarakat,terutama bentuk-bentuk sosial dan strukturnya,baik yang berwujud perilaku individu maupun dalam perilaku sosial atau kelompok. Hal utama yang membedakan antropologi dan sosiologi adalah pendekatannya , sasaran utama kajian dan sejarah perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan. Mengenai pendekatannya misalnya,antropologi sering kali dikembangkan dalam bidang kajian untuk mempelajari masalah-masalah budaya. Karena kajian antropologi ini mencakup berbagai dimensi kehidupan , maka antropologi dapat diklasifikasikan berdasarkan cabang-cabangnya, seperti antropologi sosial,antropologi politik, dan antropologi budaya. Dalam tulisan ini hanya inggin dijelaskan mengenai antropologi budaya dan fungsionalisasinya sebagai pendekatan dalam kajian sejarah.
Titik singgung antara antropologi budaya dan sejarah sangatlah jelas, karena keduanya mempelajari manusia sebagai objeknya.Apabila sejarah menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau, maka gambaran itu mencangkup unsure-unsur kebudayaannya sehingga tampak adanya tumpang tindih antara bidang sejarah dan antopologi budaya.Oleh karena itu, sebagaimana halnya sejarah dan sosiologi,perpaduan antara pandangan sinkronis dan diakronis merupakan pendekatan yang bisa memadukan antara kedua disiplin itu.
Atas kedua pendekatan di atas, Koentjaningrat , Profesor Antropologi  dari Universitas Indonesia, menyebutkan istilah-istilah yang berbeda untuk pengertian yang sama. Pertama ,integrasi deskriptif, digunakan untuk penelitian diakronik, yaitu untuk memperoleh pengertian tentang manusia dan tingkah lakunya dengan merenkontruksiasal-usul, perkembangan, dan peyebarannya serta berbagai kontak antarbudaya yang tejadi dalam kurun waktu tertentu. Data terpenting yang dimasukkan ke dalam integrasi deskriptif adalah data etnografis. Selanjutnya, dari analisis terhadap data etnografi tersebut dapat diperoleh suatu gambaran deskriptif yang menyeluruh tentang sejarah kebudayaan suku-suku bangsa. Kedua, pendekatan generalisasi yaitu digunakan untuk penelitian segi-segi sinkronis tentang suatu kebudayaan. Dengan kata lain, pendekatan tersebut ditujukan untuk memperoleh pengertian tentang prinsip-prinsip  dasar kebudayaan manusia dalam kerangka-kerangka kebudayaan yang hidup pada tataran waktu kekinian (Koentjaraningrat dalam Soedjatmoko, dkk., d., 1995: 264-265).
Bagaimana data antropologis dan metodenya dapat dipergunakan bagi penulisan sejarah? Dalam hal ini, sedikitnya empat metode yang dianggap penting, sebagaimana dijelaskan Koentjaraningrat.
a.         Metode asimilasi, yang menjelaskan proses saling menghisap unsur-unsur budaya dalam situasi kontak  berbagai kelompok kebuduyaan. Di sini, “prinsip integrasi” dan “prinsip integrasi” dan “prinsip fungsi” merupakan metode-metode yang berkaitan dengan proses adaptasi dan asimilasi unsur kebudayaan asing. Prinsip integrasi dari sejumlah unsur kebudayaan asing  itu secara keseluruhan dapat diterima apabla  disesuaikan dengan bentuk perilaku lama dan cocokdengan sikap-sikap emosional yang aada pada saat  itu. Sedangkan prinsip fungsi memandang suatu unsur kebudayaan itu tidak mudah berubah apabila unsur itu mempunyai fungsi yang penting sekali dalam masyarakat bersangkutan.
b.         Metode fungsional dalam studi masyarakat, yaitu pendeskripsian suatu kebudayaan didasarkan pada sekelompok manusia yag tinggal di suatu daerah sebagai antitas yang lengkap dan sistematis. Dala hal ini, komunitas dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi, sistem sosial, sistem pandangan hifup, dan sistem penyesuaian kepribadian.
c.         Metode fungsional dalam analisis tentang mitologi. Berdasarkan metode ini, analisis mitologi didasarkan pada anggapan bahwa cerita gaib berisi ide, pemikiran, pandangan hidup, dan sebagainya yang menjadi sumber motivasi darikegiatan fisik dan spiritual masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya, prinsip-prinsip yang berlaku didalam sebagian besar masyarakat dan kebudayaan yang memiliki mitos.
d.        Metode silsilah. Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan terminologi kekrabatan dalam bahasa tertentu guna menganalisis istem kekerabatan. Namun, metode ini juga dapat digunakan untuk mengumpulkan keterangan banyak tentang unsur, gejala, dan peristiwa yang terjadi disekeliling individu; bahkan juga menghasilkan keterangan tentang peristiwa  yang terjadi beberapa generasi sebelumnya. Data yang dikumpulkan melalui metode silsilah ini kemudian dapat menjadi bahan dasar untuk menyusun kembali sejarah masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan metode-metode diatas, dapatlah disimpulkan  bahwa antroologi akan selalu berfungsi dalam pengkajian sejarah. Sebab, memlaului antropologilah latar belakang sosial-budaya dari peristiwa-peristiwa sejarah dapat terpaparkan. Demikian pula ketika ingin diketahui mengapa suatu kebudayaan itu  berubah, maka perubahan itu harus dikaji dalam prespektif sejarahnya dengan menggunakan konsep dan teori antropologi atau kebudayaan.
3. Pendekatan Ilmu Politik
Bila kita membuka kembali karya-karya sejarah konvensional, dapatlah dikatakan bahwa sejarah adalah identik dengan politik. Melalui karya-karya seperti itulah banyak diperoleh pengetauan tentang jalannya sejarah yang ditentukan oleh kejadia politik, perang, diplomasi, dan tindakan tokoh-tokoh politik. Namun, apabila politik itu sendiri diartikan sebagai pola distribusi kekuasaan, tentunya kajian ilmiah terhadap sejarah politik juga berarti mempelajari hakikat dan tujuan dari sistem politik, hubungan struktural dalam sistem tersebut, pola-pola dari kelakuan individu dan kelompok yang membantu menjelaskan bagaimana sistem ini berfungsi, serta perkembangan hukum dan kebijakan-kebijakan sosial yang meliputi partai-partai polotik, kelompok-kelompok interst, komunikasi dan penadapat umumu, birokrasi dan administrasi.
Dalam proses politik biasanya masalah kepemimpinan dipandang sebagai faktor penentu dan senatiasa meenjadi tolak ukur. Untuk itu, penting diketahui klasifikasi kepemimpinan yang secara umum telah dibedaka oleh Max Weber dalam tiga jenis otoritas: (1) otoritas karismati, yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; (2) otoritas tradisional, yang dimiliki berdasarkan pewarisan; (3) otoritas legal-nasional, yang dimiliki berdasarkan jabatab dan kemampuan (Kartodirdjo, 1992 :150).
Selanjutnya, analisis sejarah berkenaan dengan tema-tema kepemimpinan seperti tersebut diatas, dapat dipertimbangkan lebih mendalam lagi berdasarkan faktor-faktor sosia-ekonomi, dan kultural; sebab telah menjadi kenyataan sejarah, atau bahkan merupakan sunnatullah, apabila seseorang mampu menduduki posisi sosial tinggi maka dia akan mudah mengambil peranan sebagai pemimpin dan berkesempatan untuk memperoleh bagian dari kesuksesan. Begitu pun sumber daya ekonomis bisa merupakan pendukung kekuasaan, bukan hanya proses kekuasaan itu sendiri selalu membutuhkan biaya yang cukup banyak, melainkan dari model-model kekuasaan itu sendiri juga akan terpantul sebagai jenis kepentingan individu maupun golongan terhadapa keburuhan ekonomi. Tak pelak lagi, faktor kultural juga merupakan penentu otoritas kekuasaaan, karena politik sangat dipengaruhi oleh orientasi nilai dan pandangan hidup. Didalam komunitas santri umpamanya, seorang pemimpin itu akan selalu dilihat oleh masyarakat dari segi ketakwaan dan kesalehannya. Atas kecenderungannya itu semua, telah historis dapat dilakukan dengan jalan mengidentifikasi hubungan antara segala faktor dari suatu sistem atau komunitas. Jadi, semisal “konflik politik” akan dijadikan sasarann penelitian sejarah, maka permasalahan dan eksplanasinya dapat dikembalikan kepada faktor-faktor sosial-budaya dan kepentingan ideologi atau nilai tertentu.
D. Teori dan Konsep dalam Ilmu Sejarah
Para ahli dibidang metodologi sejarah seringkali menyatakan bahwa untuk mempermudah sejarawan didalam pengkajiannya terhadap perisiwa-peristiwa masa lampau akan selalu membutuhkan teori dan konsep, yang keduanya berfungsi sebagai alat-alat analisis serta sintesis sejarah. Kerangka teoretis maupun konseptual itu sendiri berarti metodologi didalam pengkajian sejarah, dan pokok pangkal metodolgi adalah pendekatan yang dipergunakan. Guna mengetahui signifikansi teori dan konsep bagi pengkajian sejarah itu, maka uraian berikut ini diharapkan dapat memperjelas tentang keduanya.
1.     Teori Sejarah
Karakteristik teori didalam ilmu sejarah pada dasaarnya tidak berbeda dengan teori-teori ilmiah pada umumnya. Menurut Percy S. Cohen (1969), sebagaimana dikutip T. Ibrahim Alfan (Basis, 1992: 363), “a scientific theory, is, ideally, a universal, empirical sataement, which assert a causal connection between two or more types of event”. Berikut ini  aka diuraikan tiga ciri teori ilmiah tersebut.
a.       Sebuah teori ilmiah adalah universal. Artinya, teori itu menyatakan sesuatu mengenai kondisi-kondisi yang mungkin melahirkan beberapa peristiwa atau jenis peristiwa. Berdasarkan pengertian ini, sifat universal sebuah teori tampak  kontradiksi dengan sejarah sebagai ilmu yang mengungkapkan peristiwa dalam keunikannya. Padahal universalitas teori itu juga berarti juga merujuk pada proses generalisasi, yakni merujuk pada kenyataan yang ajeg (keteraturan), dalil, atau hukum yang berlaku untuk beberapa kasus. Dalam hal ini, sifat universal memungkinkan terjadi dalam sejarah mengenai kecenderungan-kecenderungan sosial, khususnya segi-segi yang berhubungan dengan pola perilaku manusia berdasarkan orientasi nilai, sistem sosial, pengkajian ekonomis, dan sifat psikologis. Dengan kata lain, pengkajian sejarah dengan pendekatan ilmu sosial akan mengungkap pola, tendensi, dan struktur yang mirip antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sebagai contoh, jalannya suatu revolusi di satu negara dalam segi formalnya mirip dengan revolusi di negara lain. Akan tetapi, dalam segi substansinya setiap revolusi itu adalah unik. Jadi, universalitas teori revolusi itu terletak pada hal formalnya. Upaya pencarian segi-segi formal atas peristiwa sejarah, menurut Saryono Kartodirdjo (1992: 104), diantaranya dapat dilakukan dengan metode komparati. Contohnya, mengenai suatu perbandingan sejarah “gerakan tarekat sebagai gerakan sosial-keagamaan” dapat diidentifikasikan, antara lain, melalui soal ajaran, kepemimpinan, hubungan dengan penganut, mobilisasi, struktur organisasi, dan interaksi dengan golongan lain atau penguasa.
b. Teori ilmiah harus empiris. Maksudnya, sifat pernyataan ilmiah diambil dari peristiwa-peristiwa khusus atau pernyataan itu dapat dibuktikan melalui observasi. Jadi, suatu teori disebut empiris bila teori itu dapat diuji. Dan sebaliknya, teori yang tidak sesuai dengan observasi maka teori itu dapat diubah, disesuaikan, atau bahkan ditolak. Misalnya, orang menyatakan bahwa” kaum muslimin tradisional itu cenderung lambat dalam mengantisipasi pembaruan” teori ini dibuktikan dalam gerakan kaum sufi misalnya, tetapi bisa juga tidak empiris kalau ternyata ada suasana khusus dari kaum sufi itu yang menunjukkan gejala adaptif terhadap kemajuan zaman.
c.  Suatu teori harus bersifat kausal. Ini berarti di dalam suatu pernyataan tentang peristiwa terdapat keterangan yang menyebutkan sebabnya. Dapat dikatakan pula bahwa terdapat kondisi-kondisi yang harus ada (necessary condditions) atau kondisi yang cukup (sufficient conditions) bagi terjadinya jenis-jenis peristiwa tertentu. Di dalam penjelasan historis, kausalitas peristiwa itu merupakan uraian atau jawaban atas pertanyaan “mengapa” dan keterangannya ditunjukkan secara emplisit. Menurut Ankersmit (1987: 192), kausalitas dalam pengkajian sejarah biasanya berkaitan dengan proses-proses perubahan sehingga menyebutkan “ sebab” sesuatu peristiwa itu berkaitan erat dengan keterangan tentang “perubahan”. Hal demikian sangatlah lazim di dalam pemikiran sejarah, sebab suatu proses sejarah itu sekaligus melihat hubungan kausalnya dengan gejala sejarah yang lain baik yang terjadi sebelumnya maupun sesudahnya, dan dengan begitu gerakan sejarah lazim pula disebut perubahan.
Teori-teori kausalitas dalam kajian sejarah secara umum dapat diklasifikasikan menjadi minikausalitas dan multikausalitas. Yang pertama, kausalitas peristiwa dirujukan pada suatu faktor saja (deterministik), yaitu misalnya determinisme geografis, rasial, ekonomis, dan sebagainya. Sedangkan yang kedua multikausalitas dikembalikan pada prepektivisme, artinya memandang penyebab suatu peristiwa itu dari berbagai segi. Kausalitas yang kedua ini didasarkan pada alasan bahwa berbagai gejala tidak lagi di pandang secara sederhana, tetapi bersifat kompleks, sehingga berbagai unsur atau aspeknya dapat di analisis dengan pendekatan dari beberapa prespektif, seperti prespektif ekonomis, sosial, politik, kultural, dan agama.
Terakahir, sebagaimana disimpulakan T. Ibrahim Alfian, teori itu pada dasarnya adalah seperangkat proporsi yang menerangkan bahwa konsep-konsep tertentu adalah saling berkaitan dengan cara-cara tertentu. Proporsi-proporsi yang menceritakan bagaimana pertalian antarkonsep adalah definisi, dalil dan hipotesis. Pada gilirannya, segala teori dapat membantu sejarawan dalam merekonstruksi masa lampau selama prinsip relevansi dipegang teguh.
2. Konsep Sejarah
Secara definitif, konsep sejarah itu ialah “ suatu abstraksi mengenai suatu gejala realitas”. Realitas yang ditunjuk oleh konsep itu bisa penyebutan orang-orang seperti muslimin, muslimat, kristiani, hinduis, tradisional, reformis dan bisa juga berupa perilaku atau kelas fenomena, misalnya perusuh, pemberontak, bangsawan, priyayi, dan rakyat. Konsep berarti pula kata benda umum; dalam ilmu politik umpamanya, ada konsep-konsep kekuasaan, kewibawaan, kepemimpinan, konflik, dan integrasi. Debgan begitu, konsep dalam sejarah meruakan sebuah abstraksi atas peristiwa-peristiwa masa lampau umat manusia.
Proses penentuan konsep disebut “konseptualisasi”, artinya seseorang membagi-bagi dan mengelompokkan fenomena empiris atas dasar persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Dalam hal ini, konsep merupakan ide umum yang dipakai untuk membagi sesuatu dalam kelas-kelas atau bagian-bagian tertentu. Akan tetapi, pada prinsipnya konsep hanyalah melikiskan kategori tunggal, bukan merupakan pertalian antara kategori-kategori; sedangkan pertalian konsep-konsep disebut hipotesi-hipotesis, kerangka konseptual, atau teori-teori.
Jenis-jenis konsep didalam sejarah, seperti hanyalah ilmu-ilmu sosial yang lain, dapat dibedakan dalam tiga jenis berikut.
a.                   Konsep empirik, yaitu sesuatu yang dikoneptualisasikan itu dapat dibiktikan dan diukur dengan data panca indra. Berdasarkan konsep empirik, sesuatu itu dapatlah ditelaah secara intelektual, dan berbagai aspek yang ada di dalamnya dapat pula diidentifikasi dan dianalisis. Konsep empirik menghendaki dua bentuk definisi. Pertama,  definisi konseptual, yakni isi konsep dalam komunikasi baik lisan maupun tertulis. Kedua, definisi operasional, yakni konsep itu dapat dapat ditunjukkan dalam gejala-gajalanya secara empiris (Alfian dalam basis,1992: 366). Konsep “kaum santri”, misalnya, dapat didefinisikan secara konseptual sebagai “struktur sosial atau kategori yang dibedakan dengan struktur sejenis yang lain atas dasar ketaatan, keyakinan, ritual”. Sementara secara operasional, dapat pula ditetapkan bahwa yang termasuk dalam strukktur itu adalah komunitas pesantren,kaum terpelajar, da para aktivis muslim.
b.                   Konsep heuristik, yaitu konsep yang dianggap tidak nyata tetapi digunakan untuk memberi gambaran mengenai pertalian empiris dan untuk menuntun riset. Misalnya, konsep “jelompok dominan” atau konsep “kelompok kepentingan” dari ahli politik. Demikian pula konsep “kewirausahaan” atau “entrepeneurship” di dalam ilmu ekonomi. Konsep-konsep seperti in menghendaki kejelasan fungsi-fungsi umum yang dapat dikembangkan pula untuk merujuk atau menunjuk pada orang yang menjalankan fungsi-fungsi itu. Menurut Alfian, konsep-konsep seperti itu dapat dibedakan menjadi dua tipe. Pertama, ideal type, yakni konsep itu tidak seharusnya menunjuk secara langsung orang perorangan atau kelompok tertentu sehingga keadaannya bersifat fiktif. Namun demikian, konsep dimaksud tetap berguna untuk
membuat gambaran mengenai pertaliannya didalam dunia empiris. Kedua, real type, yakni bukanlah fiksi sepenuhnya, melainkan suatu kelas umum mengenai orang-orang atau peristiwa riil    
a.                   Konsep metafisik. Contohnya, ‘tuhan”, “sunatullah”, dan ‘takdir” adalah konsep metafisis, karena pada prinsipnya harus diterima atas dasar keyakinan. Konsep semacam ini tidak mempunyai rujukan atau petunjuk empiris, tidak dapat diukur dan ditentukan melalui panca indra, dan tidak dapat diumpamakan secara khusus untuk membantu sejarawan dalam konseptualisasi peristiwa-peristiwa (empiris).
E. Perubahan Sebagai Asas Konsepsi Sejarah
Kerangka konseptual dan teoritik untuk penelitian sejarah di atas, terutama pada sifatnya yang kausaalitas, biasanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah tentang proses-proses perubahan. Hal ini sangatlah lazim dalam pemikiran sejarah, karena suatu proses sejarah pada dasarnya adalah juga proses perubahan (Ankersmith, 1987: 192). Terkait dengan relevansi sejarah dengan perubahan ini, maka dapatlah dikatakan bahwa asas pengembangan kerangka konseptual bagi penelitian sejarah lebih ditekankan kepada prespektif perubahan tersebut.
Secara umum, perkembangan peristiwa dalam kurun waktu tertentu memang bertemu dengan bermacam-macam perubahan yang memengaruhinya. Mengenai perubahan sosial misalnya, pendekatan sejarah perlu melacak struktur sosial yang melatar belakangi perubahan-perubahan dalam masyarakat, termasuk konflik-konflik sosial dan kepentingan, sistem-sistem tradisional,  dan keagamaan, dan pola hubungan antar kelompok dalam masyarakat yang bersangkutan (Poloma, 1984: 23). Kemudian peristiwa-peristiwa itu di dalam gejalanya lebih
kompleks dapat dilihat pula dari adanya transformasi structural, yang ditelusuri adanya proses integrasi dan diintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi, dan proses perubahan jenis-jenis solidaritas di dalam sejarah.
       Pengembangan metodologi sejarah berkenaan dengan perubahan-perubahan sesuatu peristiwa, sedikitnya didasarkan pada dua arah yang berlawanan. Pertama, melakukan dedukasi dari yang umu ke yang khusus, dengan memperbandingkan model-model umum perubahan sejarah untuk melihat apa model-model peristiwa yang di ditemukan dan dapat di modifikasi. Kedua, melakukan induksi dari yang khusus ke yang umum dalam upaya menggambarkan proses perubahan pada masyarakat tertentu, dan untuk mencari keseimbangan beberapa refleksi tentang hubungan problematis antara peristiwa dan struktur. Perlu ditekankan disini, bahwa ‘perubahan sosial’ dalam studi sejarah adalah perubahan-perubahan struktur dan fungsi, yang dilihat digunakan dalam menganalisis perubahannya itu mencakup perkembangan berbagi peristiwa (burke, 2001 : 195-196).
       Banyak teori yang ditemukan para ahli sejarah maupun social tentang konsep perubahan dan model-modelnya. Studi ini menjelaskan dua model penting tentang perubahan yang dikemukakan Spencer dan Marx. Model Spencer, yang bersifat evolutif dan linear, adalah model yang menekankan pada evolusi social, yakni perubahan berlangsung secara pelan-pelan dan kumulatif,  dan perubahan ditentukan dari dalam (endogen). Dalam hal ini, menurut Spencer, perubahan terjadi dari ‘hemogenitas’ yang tidak koheren ke heterogenitas koheren’(Burke, 2001: 198).
       Model Spencer tersebut juga dikembangkan oleh Weber dan menghasilkan model modernisasi, yaitu proses perubahan dipandang secara esensial sebagai suatu perkembangan dari dalam, dan dunia luar hanya berperan sebagai pemberi rangsangan untuk ‘adaptasi’. Proses perubahan, yang dimaksudkan Weber,
digambarkan dalam pertentangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Budaya masyarakat tradisonal sering dikatakan religious, magis dan bahkan tak rasional, sementara budaya masyarakat modern dianggap sekuler, rasional, dan ilmiah. Weber sendiri menganggap sekulerisasi sebagai ‘hal yang mengecewakan pada dunia’ (enzauberung der welt), dan bentuk-bentuk organisasi yang lebih rasional adalah karakteristik pokok proses modernisasi, yakni konsep ‘rasa keterpanggilan Protestan ( asketisme duniawi ) dipandang sebagi tahap krusial dalam proses modernisasi ( Burke, 2001:200 ).
       Berbeda dengan model Spencer, perubahan model Marx ( atau model konflik ) menggambarkan model atau tahapan perkembangan masyarakat yang revolusioner. Perubahan dalam model ini secara umum melihat perkembangan masyarakat bergantung pada system ekonomi dan mengandung konflik-konflik social yang mengakibatkan timbulnya krisi, rovolusi, dan perubahan yang terputus-putus. Model ini tidak hanya memberi tempat bagi penjelasan-penjelasan perubahan dari perspektif factor eksogen (luar), tapi juga memberikan penjelasan lebih global yang menekankan pada relasi antara perubahan pada suatu masyarakat dan perubahan di masyarakat lain. Di samping itu, model Marx lebih memerhatikan mekanisme perubahan dilihat dalam pengertian dialektik. Dengan kata lain, penekanannya pada konflik dan pada akibat yang bukan hanya tidak dimaksudkan, melainkan sangat berlawanan dengan apa yang di rencanakan dan diharapkan. Penekanan pada revolusi memang merupakan karakteristik model Marx, bila dikontraskan dengan model Spencer.
       Dengan mengacu dua model perubahan social tersebut, kekuatan dan kelemahan keduanya dapat dimodifikasi sebagai sebuah sintesis dalam kerangka konseptual sejarah. Mengikuti pendapat Peter Burke, bahwa implikasi model-model perubahan seperti itu secara sintesi adalah secara penolakan secara hitam putih terhadap tiga dikotomi, yaitu antara kontinuitas dan perubahan, antara factor internal dan eksternal, dan antara struktur dan peristiwa ( Burke, 2001: 240 ). Konsepsi perubahan pada dasarnya sealau terkait dengan konsepsi kontinuitas. Dalam hal ini, apa yang disebut sebagai “teori generasi” oleh Karl Manheim sesungguhnya menekankan pada ‘lokasi bersam dalam proses-proses social atau mentalitas. Sementara itu, ‘campur tangan dari luar’, yang dikembangkan Wachtel dan Sahlins, yang menyatakan bahwa perubahan tidak hanya dari perspektif eksternal saja, menekankan hubungan atau kesesuaian anatar factor dalam (endogen) dan luar (eksogen). Dari model-model perubahan tersebut, diharapkan dapat terbahas factor-faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat relative terbuka (atau rentan) terhadap pengaruh lauar, sedangkan sebagian lebih sanggup bertahan dari pengaruh tersebut.

F. Sumber dan Fakta Sejarah
1.                   Sumber Sejarah
Sumber sejarah sering kali disebut  juga “data sejarah”. Kata “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “datum” (bahasa latin) yang berarti “pemberitaan” (Kuntowijoyo,1995:94). Data sejarah itu sendiri berarti bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengategorisasian. Sejumlah sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal yang membuka kemungkinan bagi peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal.
Adapun klasifikasi sumber sejarah itu dapat dibedakan menurut bahannya, asal-usul atau arutan penyampiannya, dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahanya dapat dibagi menjadi dua : tertulis dan tidak tertulis. Sumber sejarah menurut urutan penyampian nya dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sementara menurut tujuanya, sumber sejarah dibagi atas sumber formal dan sumber informal.
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang jenis sumber seajarah berdasarkan bahanya.
a.                   Sumber tertulis
Kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan, dalam arti sempit, biasa disebut dengan dokumen. Sedangkan dokumen dalam arti yag luas juga meliputi monument, artefak, foto-foto, dan sebagainya. Dokumen tertulis itu, seperti pembagian R. van Niel atas sumber-sumber sejarah Jawa pada abad XIX yang tertulis dalam bahasa-bahasa Barat, ada enam kategori, yaitu dokumen-dokumen pemerintah yang telah diterbitkan, dokumen-dokumen pemerintah yang belum diterbitkan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi yang belum diterbitkan, surat-surat keluarga, dan catatan-catatan perjalanan ( Alfian, 1984: 35 ).
Lebih luas lagi, Louis Gottschalk ( 1983: 60-77 )mengkategorisasikan dokumentertulis menjadi 8 jenis: (1) rekaman sezaman: instruksi, rekaman stenografis dan fonografis, surat-surat niaga dan hokum, buku-buku catatan dan memori pribadi; (2) laporan konfidensial: berita resmi militer dan diplomatic, jurnal atau buku harian, dan surta-surat pribadi; (3) laporan umum: surat-surat kabar, memoir dan autobiografi, sejarah resmi atau diotorisasi; (4) kuesioner: tertulis tentang informasi dan opini; (5) dokumen-dokumen pemerintah: laporan badan pemerintahan, undang-undang dan peraturan-peraturan; (6) pernyataan opini: tajuk rencana, esei, pidato, brosur, surat kepada redaksi, dan sebagainya; (7) fiksi: nyanyian dan puisi; (8) cerita rakyat atau folklore: nama-nama tempat, dan pepatah atau peribahasa.
Selain jenis dokumen-dokumen di atas, Garraghan ( 1995: 241-258 ) menambahkan dua kategori su,mber tertulis lainnya, yaitu (1) annal dan kronik, yakni bentuk-bentuk historiografi Abad Pertengahan; keduanya merupakan kelompok sumber spesifik yang meminta banyak perhatian kritis dari sejarawan; (2) inskripsi, yakni sejumlah besar data (politik, hukum,ekonomi, social, dan agama ) yang tertambat dalam bentuk tulisan pada batu, perunggu, marmer, perkamen, atau bahan-bahan keras lainya.
Data yang tercantum dalam bahan-bahan dokumneter itu pada dasarnya merupakam alat untuk mempelajari permasalahan tertentu, terutama permasalahan yang tidak dapat diobservasi lagi atau tidak dapat diingat lagi. Namun bahan-bahan itu juga sering kali tidak lengkap, tidak representative, tidak koresfondensif, dengan model konseptual, bahkan tidak memuat sama sekali data yang relevan bagi permasalahan yang sedang diselidiki. Untuk semua ini, selain perlu diperhatikan segi-segi autentisitas dan kredibiltas dokumen itu ( akan dibahas lebih lanjut dalam bab mengenai metode sejarah ), penting pula dipersiapkan terlebih dahulu konsep dan teori yang sangat berguna untuk mensistematiskan data dan mengklasifikasikannya berdasarkan jenis dan karakterisktik dokumen, seperti digambarkan Prof. Sartono Kartodirjo ( 1974: 23-24 ), antara lain dapat diorganisasikan fenomena kemasyarakatan dalam perkembangan historis. Menurut sejarawan ini, data social secara konseptual bias dilihat dari cirri-ciri setiap bentuk bahan documenter dibahwah ini.


1.                   Autobiografi
Autobiografi lazimnya dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, autobiografi komprehensif, yaitu autobiografi yang panjang dan bersegi banyak. Kedua, autobiografi topical, yaitu isinya pendek dan bersifat khusus. Ketiga, autobiografi yang diedisikan ,yakni autobiografi yang telah disusun oleh pihak lain.Data autobiografi sangat berguna bagi psikologi,karena didalam dokumen seperti itu termuat factor-faktor subjektif seperti segi-segi efektif ,motivasi, harapan-harapan ,dan pengalaman,termasuk juga di dalamnya interprestasi dan konseptualisasi terhadap faktor-faktor itu.Autobiografi dapat pula memberikan data tentang faktor-faktor objektif umpamanya nilai sosial ,proses sosial ,situasi sosial ,dan perubahan sosial.Misalnya autobiografi Muhammad natsir ,yang disusun oleh pihak lain ,yaitu yusuf Abdullah puar(1978).di dalamnya di gambarkan kehidupan masyarakat minangkabau ,timbulnya system pendidikan modern ,kehidupan di kota pada pra-kemerdekaan dan awal kemerdekaan Indonesia ,gerakan modern islam ,nilai-nilai baru pada golongan elite agama ,para politisi dan kaum intelengensia muslim dengan idealismenya tentang kehidupan bernegara.
2. Surat-surat pribadi, catatan atau buku harian dan memoirs
Surat-surat pribadi sebagai bahan documenter biasanya memuat hal-hal penting, antara lain: (1) hubungan dyanic, (2) pokok pembicaraan tentang hubungan dan lembaga social; (3) tatasusila dan adat istiadat yang tercermin dalam bahasa surat itu. Contoh yang paling akrab dengan sejarah masyarakat Indonesia ialah surat-surat RA. Kartini kepada nyonya abendanun yang terkumoul dalam buku habis gelap terbitlah terang. Buku ini tidak hanya memuat idealisme tokoh wanita Indonesia tentang emansipasi, tetapi juga memuat data tentang tradisi kuno dalam lingkungan keluarga bupati, cara pendidikan anak parempuan, kedudukan wanita dalam kehidupan keluarga dan masyarakat jawa pada pemulaan abad ini.
Buku harian merupakan dokumen yang sangat pribadi sifatnya. Dokumen semacam ini jarang sekali didapatkan, apalagi untuk masa lampau, boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Di Indonesia, orang mengenal buku harian baru pada beberapa decade terakhir dan terbatas pada kalangan pejabat pemerintah atau kaum elit saja. Satu contoh diantara catatan harian yang langkah itu ialah Jakarta Diary dari Mochtar Lubis yang banyak memuat data tentang situasi masyarakat Indonesia pada masa demokrasi terpimpin. Didalamnya terdapat pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan interpretasi tentang kejadian-kejadian serta situasi lingkungannya. Sejenis dengan dokumen pribadi ini adalah memoirs,tetapi didalamnya tidak banyak menyinggung masalah pribadi, melainkan persoalan umum. Kebanyakan memoirs merupakan kisah perjalanan , sehingga bisa didapatkan tentang keadaan tentang suatu negeri, kota atau daerah. Kisah perjalanan yang ditulis Tome Pires di dalam suma oriental, misalnya, memberikan gambaran struktur social dari masyarakat muslim pada abad ke-16 di kerajaan dan kota pantai seperti Malaka dan kota-kota pantai utara Jawa Timur, khususnya Tuban. Demikian halnya catatan perjalanan Ibnu Batuta.
3) Surat kabar
Data yang dimuat dalam surat kabar kadang telah menunjukkan fakta, disamping juga merupakan opini, atau interpretasi dan pikiran-pikiran spekulatif. Cakupan data di dalam surat kabar sangatlah luas, meliputi persoalan lokal maupun internasional dan secara substantive mencakup segala segi kehidupan sosial. Namun demikian, fakta-fakta dalam surat kabar pada umumnya sering kurang teliti atau berita-beritanya masihdangkal. Hal ini disebabkan singkatnya waktu yang tersedia untuk mengolah informasi-informasi atau untuk mengumpulkan informasi dari banyak sumber tertutup, misalnya laporan- laporan pemerintah yang bersifat rahasia. Selain itu segi-segi subjektifitas surat kabar cukup jelas, karena pada umunya ia menjadi saluran aspirasi dari golongan politik atau sosial tertentu.
4) Dokumen pemerintah
Di dalam dokumen pemerintah biasanya dimuat keputusan-keputusan, berita-berita, laporan-laporan pemerintah tentang peristiwa-peristiwa, laporan tahunan, data statistik, pernyataan pemerintah, daftar personalia birokrasi, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini lebih bersifat sepihak ( pemerintah ), tidak mencerminkan pikiran, ide, sentiment, aktifitas, dan hubungan sosial pada rakyat. Hal ini sangat kentara dalam dokumen pemerintah kolonial Belanda, misalnnya, sehingga realita konkret dari kehidupan rakyat di pedesaan atau kota-kota kecil tidak dimuat. Oleh karena itu, sangat sulit didapatkan data sosiologis seperti kedudukan sosial-ekonomi dari elit pedesaan, stratifikasi sosialnya, hubungan antar Prestise dan kekuatan, dan sebagainya dari dokumen pemerintah itu.
5) Cerita roman

Karya sastra , sepeti roman dan novel, pada dasarnya tidak hanya merupakan karya ekspresif seorang pengarang, tetapi di dalamnya kadang juga mengungkap data yang menyangkut keadaan sosial dari periode tertentu. Keadaan sosial seperti struktur sosial, kelas sosial, dan lembaga-lembaga sosial datanya bisa didapatkan dalam cerita roman, bahkan penggambaran keadaan sosial itu cenderung lebih mendekati kenyataan dan tidak dilukiskan semeta-mata menurut fantasia tau imajinasi yang bebas. Serat musyawaratan para wali, misalnya. Tokoh-Tokoh dalam cerita ini menunjukkan struktur keagamaan seperti para wali, lembaga musyawarah, sitem interaksinya, dan sebagainya. Contoh lainnya adalah serat centini, yaitu karangan yang menggambarkan kehidupan sosial dar periode awal dan pertengahan Mataram. Begitu pula bila kita membaca novel yang ditulis K H Saifudin Zuhri yang berjudul guruku orang-orang dari pesantren (1974), didalamnya banyak memuat informasi tentang kiprah para pemimpin pesantren di Jawa dari periode akhir Belanda, zaman Jepang, dan masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Dalam karya terakhir ini, juga terdapat data dam fakta gaya hidup dan pandangan kiai, gerakan organisasi keagamaan dan idealisme kaum sanyri untuk perjuangan kebangsaan dan kenegaraan.
b. sumber tak tertulis
Termasuk dalam kategori sumber tak tertulis ini adalah artefak dan sumber lisan. Artefak dapat berupa foto-foto, bangunan, atau alat-alat. Foto sangat mungkin dimiliki oleh keluarga, organisasi sosial, organisasi profesi, atau instansi-instansi. Foto setiap generasi akan akan menunjukkan perubahan sosial antar-berbagai struktur sosial. Lewat foto mungkin terlihat data tentang gaya hidup keluarga, perabot rumah atau kantor, jenis pakaian dan kendaraan, suasana sidang para pemuka organisasi, dan sebagainya. Demikian juga  dari bangunan, akan dijumpai data yang bersumber pada model-model arsitektur yang diciptakan oleh tiap generasi. Rancang-bangun mesjid, misalnya, banyak mengalami perubahan, sebab terkait dengan fungsi-fungsi kegiatan jamaah. Fungsi masjid pada dasarnya untuk kegiatan ibadah, tetapi lebih luas lagi mencakup kegiatan sosial-budaya. Oleh karena itu, pengurus masjid mengusahakan adanya kantor secretariat, dapur umum, tempat penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan, dan alat-alat yang dibutuhkan bagi kegiatan.
Sumber tidak tertulis yang lain adalah sumber lisan. Sumber ini secara metodologis merupakan bahan inti bagi sejarah lisan. Pengetahuan tantang kejadian-kejadian masa lampau pada data atau informasi yang masih tersebar secara lisan. Garrahan (1957: 259-260) mengklasifikasikan sumber dimaksud menjadi dua katergori. Pertama, penyebaran lisan tentang kejadian- kejadian yang baru atau peristiwa-peristiwa yang masih terekam di dalam ingatan orang./ data liisan seperti ini dapat dicapai melalui dua jalan: melalui saksi mata yang paling dekat dengan kejadian dan melalui saksi mata perantara karena sulit merunut kemb ali saksi terdekat.
Kedua, penyebaran liisan tentang peristiwa-peristiwa yang tipis kemungkinan terjadinya. Sumber ini lebih dikenal dengan istilah tradisi lisan, yakni infomasi-informasi tentang kejadian sejarah disebarkan dari mulut kemulut: saksi terdekat maupun saksi perantara tidak dikenal, kecuali saksi yang menghubungkan infomasi itu kepada pendengar. Tradisi lisan ini biasanya tersebar melelui tiga jenjang. Pertama, melelui cerita yang disampaikan oleh bapak kepada anaknya, dari guru kepada muridnya, atau dari generasi ke generasi berikutnya. Kedua, cerita sejarah diperkenalkan dalam adat istiaadat, kebiasaan-kebiasaan, lembaga dan upacara keagaamaan. Ketiga, cerita sejarah diabadikan dalam tulisan dalam bentuk-bentuk gambar.
Menurut garraghan (1957: 269-270), sumber lisan ini meliputi sejumlah sumber berikut:
1.                   Fable (fable)yaitu suatu cerita yang aktornya terdiri atas binatang-binatang buas, burung-burung, makhluk hidup yang bukan manusia (makhluk gaib), atau personifikasi abstrak lainnya yang mengambil perwatakan manusia. Barangkali karya Hayy bin Yaqdan merupakan salah satu contohnya.
2. Dongeng (tale), yaitu suatu cerita Yang berkaitan dengan waktu, tempat, dan actor yang tidak menentu. Sebagai contoh adalah dongeng si kabayan dari tanah pasundan
3. Mitos (myth) yaitu suatu cerita atau sejenisnya yang bersumber seperti halnya sejarah tetapi sarat dengan khayalan. Mitos selalu memuat tentang kehidupan manusia, dan biasanya mengambil manusia super sebagai tokohnya. Kisah para wali, misalnya, sering kali mengarah kepada bentuk mitologis oleh para pengagumnya.
4. Legenda (legend), yaitu suatu cerita yang dalam berbagai hal berisi kebenaran, termasuk didalamnya elemen-elemen historis sering kali mengandung isi actual. Contohnya, situs kota troya lama berdasarkan legenda Helen of troy atau great horse of troy. Garaghan, mengkuti pendapat lanzoni dan de smelt, membedakan dua tipe legenda. Pertama, legenda murni yang isinya tidak langsung memuat data sejarah.Kedua, legenda yang bersifat sejarah, yakni yang mengandung isi yang bersifat sejarah dalam berbagai tingkatan. Kedua tipe tersebut bisa dipergunakan sebagai sumber sejarah, sebab, walaupun legenda itu bersifat khayalan murni, dapat memberikan cakrawala tentang berbagai macam kebudayaan dan peradaban.
5. Saga, yaitu suatu cerita yang berpusat pada tokoh pahlawan. Saga biasanya merupakan cerita yang diambil dari fakta atau kebenaran dalam literature dengan mengungkapkan tokoh-tokoh pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanannya.
2. Fakta Sejarah
Sebuah artikel yang menjelaskan tentang fakta-fakta sejarah ditulis oleh Carl L. Backer yang berjudul “what are historical fact ?”. tulisan ini dimuat dalam han mayer hoff, the philosophy af history in our time (1959), halaman 120-137. Tulisan tersebut dipandang representative bagi pembahasan berikut ini, dan disini dikemukakan ringkasannya.
Backer memulai uraiannya dengan memberikan penegasan bahwa sejarah itu umumnya ditulis berdasarkan pemikiran dan tindakan berdasarkan masa lampau. Oleh karena itu, sejarawan harus berusaha mengadakan pendidikan guna mengetahui segala yang telah diperbuat dan dipikirkan oleh manusia pada masa lampau. Dengan proses penyelidikan itu pula sejarawan harus bekerja untuk memperoleh fakta-fakta sejarah dan dapat memaparkannya. Persoalannya, apakah semua kejadian masa lampau itu dapat dikatakan fakta ?.
Menurut backer, fakta-fakta dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, fakta-fakta keras (hard fact), yaitu fakta-fakta yang telah teruji kebenarannya. Kedua, fakta-fakta lunak (cold fact), fakta-fakta yang belum dikenal dan masih perlu diselidiki kebenarannya.Untuk menguji kebenaran fakta-fakta tersebut, sejarawan harus mendapatkan bukti-bukti yang kuat, selanjutnya, sejarawan juga harus pandai mengolah dan menyusun fakta-fakta itu agar dapat membuahkan rekonstruksi dalam bentuk kisah.
Secara lebih gambling lagi, baker mengajukan tiga pertanyaan pokok mengenai fakta-fakta sejarah : apakah fakta sejarah, dimanakah fakta sejarah itu, dan kapan fakta sejarah itu muncul ? dibawah ini keterangan-keterangan atas ketiga permasalahan tersebut.
Pertama, apakah fakta sejarah itu ? fakta adalah “suatu statement tentang suatu kejadian atau peristiwa”. Sebagai contoh, pada tahun 710 thariq bin ziyad mendarat didekat bukit jibraltar. Hampir semua orang tahu akan fakta ini, karena ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam penyebaran islam ke spanyol. Namun, fakta dimaksud masih sangat sederhana sehingga untuk kelengkapannya menimbulkan beberapa pertanyaan,antara lain,apakah sewaktu pendaratan thariq itu dengan kuda atau kapal ? apakah selat yang dilalui thariq itu panjang, lebar, dangkal atau curam ? berapa lama thariq menyeberangi selat ? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang dapat diajukan guna melengkapi fakta tadi. Tentu saja melalui sejumlah pertanyaan tersebut akan dapat dipertanyakan seribu satu peristiwa dalam menyusun fakta tentang tokoh diatas. Yang jelas, suatu fakta itu tidak unggul, melainkan sangat kompleks, atau dalam pengertian lain bahwa fakta itu tidak lebih dari sekedar “simbol” berupa “statement sederhana” yang dibentuk dari hasil generalisasi fakta-fakta.
Fakta yang tampak lebih simbolis, misalnya, hasil penelitian para sejarawan jerman pada pertengahan abad 19 tentang adat-istiadat dari suku-suku primitif bangsa jerman. Mereka menemukan suatu lembaga komunal yang disebut “nenek moyang bangsa jerman atau teutonic mark”. Fakta ini merupakan hasil imajinasi para sejarawan dan meluas sebagai suatu mitos. Teutonic mark tetap merupakan fakta sejarah yang berasal dari sejarawan jerman abad 19 itu.
Berdasarkan gambaran diatas, sangat penting bagi sejarawan untuk selalu selektif dalam memilih kejadian sejarah dan menentukan kenyataan yang menguatkan faktanya, walaupun sejarawan itu sendiri tidak sampai mendapatkan fakta keras; sebab sejarawan memang tidak langsung berhadapan dengan kejadian itu, melainkan melainkan melalui bekas-bekas atau statement tentang peristiwa. Dengan demikian, fakta sejarah bukan semata-mata kejadian masa lalu, melainkan juga suatu symbol yang memungkinkan dapat diberi makna secara imajinatif. Melalui pemaknaan symbol itulah sejarawan dapat menyatakan bahwa fakta itu adalah hard atau cold dan benar atau keliru.
Kedua, dimanakah fakta sejarah itu ? dapat dikatakan bahwa fakta sejarah akan hanya terdapat didalam pikiran seseorang. Misalnya, “peristiwa pembunuhan Abraham Lincoln di ford’s theatre di Washington pada 14 april 1865”, ini merupakan peristiwa yang actual dan merupakan fakta atas pernyataan yang benar-benar terjadi. Sungguhpun ia menjadi pembicaraan pada 1997, kita mengatakannya sebagai peristiwa actual, dan sekarang kita menyebutnya juga sebagai fakta sejarah. Antara peristiwa actual dengan fakta sejarah memang kadang satu pengertian, padahal antara keduanya jelas berbeda. Bila dipertanyakan, dimanakah fakta tentang peristiwa terbunuhnya Lincoln sekarang ? jelaslah kejadian itu sudah lewat, danm kini kita tidak menemukan lagi peristiwa itu, yang ada hanyalah kebenaran yang terbatas dari ingatan sejarawan, bahkan ada pula fakta yang hilang dari kejadiannya sediakala. Kemudian, apa yang mesti dilakukan para sejarawan dalam upaya melakukan memunculkan sesuatu yang hilang itu ? sejarawan dapat memaparkan kembali peristiwa-peristiwa bersangkutan melalui imajinasinya dengan bantuan sumber-sumber yang ada, yaitu berupa buku-buku, surat-surat kabar, catatan-catatan harian, dan sebagainya. Begitu pentingnya sumber tertulis, sebab dengan tulisan atau catatan itulah manusia dapat mengabadikan ingatannya.
Ketiga, kapan fakta sejarah itu muncul ? apabila fakta sejarah sekarang itu muncul secara imajinatif didalam pemikiran seseorang maka fakta itu menjadi bagian dari waktu sekarang. Perkataan, sekarang sebetulnya merupakan suatu istilah yang tidak pasti : ia adalah suatu titik yang tidak dapat dibatasi didalam waktu dan akan hilang sebelum seseorang memikirkannya. Bayangan atau ide yang ada sekarang akan segera masuk kedalam masa lampau, sebagaimana halnya gambaran atau ide tentang masa lampau itu selalu tidak dapat dipisahkan dari gambaran atau ide tentang masa yang akan datang. Oleh karena itu, apakah masih dapat diingat sesuatu yang diperbuat sekarang itu secara lengkap ? tentu saja hanyalah beberapa hal penting saja yang dapat dicatat, tetapi dengan membaca kembali catatan-catatan itu berartti sejarawan tertolong untuk mengingat kembali beberapa peristiwa yang telah lampau. Jadi, masa sekarang, melalui imajinasi dan ide yang terkandung didalamnya, merupakan pertemuan dan perpanjangan masa lampau kemasa yang akan datang.
Disegi lain, dapat pula dikatakan bahwa fakta-fakta sejarah itu akan muncul apabila terdapat suatu tujuan. Pada fakta-fakta tentang kongres berlin, misalnya, seseorang akan menghidupkan kembali fakta-fakta itu melalui pikiranya ketika ia mempunyai tujuan berkenaan dengan kongres. Bagaimanapun tanpa tujuan itu ia akan merasa sia-sia mencari kesulitan untuk menghidupkan kembali untuk fakta-fakta sejarah didalam ingatanya. Tujuan akan sesuatu fakta sejarah itu dapat muncul atau terjadi kapan saja. Persoalannya, apakah pencatatan dan pengingatan seseorang itu dapat bersifat objektif? Tentu saja setiap penulis akan memberikan makna dan penafsiran terhadap sesuatu kejadian dengan wawasan yang berlainan, dan setiap generasi kembali menulis sejarahnya dengan tafsiran dan konstruksi yang sesuai dengan jaman. Dengan begitu, jelaslah bahwa fakta-fakta sejarah itu bersifat subjektif. Setiap orang tidak akan dapat menghapuskan sama sekali perasaan pribadinya didalam menggambarkan suatu peristiwa. Wawasan sejarawan sekarang dapat mempengaruhi jalan pikiran manusia di masa lampau, sama halnya pikiran sejarawan yang lampau dapat mempengaruhi pikiran sejarawan sekarang. Jadi, fakta-fakta sejarah dapat dipisahkan dari masa lampau masa kini dan masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung.2007.Metodologi sejarah.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media


Nb: Kutipan

Comments

Popular posts from this blog

BURUNG SERINDIT

PERISTIWA PEMBAKARAN HOTEL MOUNTBATTEN (HOTEL MERDEKA) PEKANBARU

TEMBILAHAN DAN BUDAYA BANJARNYA